JAKARTA - Teknologi transportasi massal di Batavia atau Jakarta sudah berkembang pesat sejak akhir abad 19. Setelah trem bertenaga kuda muncul pada 1869, lalu berevolusi menjadi trem bertenaga uap pada 1882, hingga berhasil mengadopsi trem listrik pada April 1899.
Trem listrik bahkan lebih dulu ada di Batavia sebelum di negeri Belanda. Tercatat, negeri Kincir Angin baru mengadopsi moda transportasi publik ini pada Juli 1899, atau lebih tepatnya tiga bulan setelah Batavia. Hal ini lantas menjadi buah bibir seisi kota.
Pembuatannya pun tak tanggung. Selain lijn (lintasannya) yang dibangun hampir di seluruh wilayah penting Batavia, jadwal beroperasinya pun sudah sibuk yakni tiap 10 menit sekali.
Sama seperti trem uap, kelas penumpang di trem listrik pun dibedakan. Kelas satu dengan harga tiket 15 sen biasanya ditumpangi orang-orang Eropa. Lalu, kelas dua dengan harga tiket 10 sen, biasanya berisi penumpang dari orang-orang timur asing, seperti China, Arab, dan India. Terakhir, kelas tiga diperuntukkan bagi kaum bumiputra dengan tarif 5 sen. Sekali jalan, trem mampu menarik tiga gerbong.
Atas perkembangan itulah, sebuah komisi khusus dari Indisch Genootschap memuji-muji kehadiran transportasi umum berbasis rel besi ini sebagai bentuk kemenangan manusia atas jarak dan waktu. Apalagi, seluruh material-material dari trem listrik diproduksi langsung oleh pabrik dari Belgia, Dyle en Becalan.
“Yang paling bermanfaat dari temuan-temuan sekarang ini, kemenangan paling mengagumkan oleh manusia atas waktu dan jarak, insentif paling kuat untuk bekerja keras, pertukaran nilai-nilai, dan peradaban,” ungkap Indsich Genootschap dikutip Rudolf Mrazek dalam Engineers of Happy Land: Perkembangan Teknologi dan Nasionalisme di sebuah Koloni (2006).
Seperti dikutip Mona Lohanda dalam bukunya Sejarah Para Pembesar yang Mengatur Batavia (2007), mulanya, trem listrik dikelola oleh perusahaan Batavia Elektrische Tram Maastschappij (BETM). Lalu ketika Burgermeester (Walikota) Batavia, Ir. Voorneman menyadari potensi besar perusahaan ini pada 1925, ia menggabungkan perusahaan tersebut dengan Nederlandsch-Indische Tramweg Maatchappij (NITM), hingga lahirlah Bataviasch Verkeers Maatschappij (BVM).
Gabungan kedua perusahaan ini mewarisi pengelolaan elektrifikasi pada trem listrik yang baru selesai seluruhnya pada 1 Maret 1934. Sedangkan, pengoprasian trem uap sudah berhenti setahun sebelumnya pada September 1933 karena sudah tak relevan dengan zaman. Lebih lengkapnya kami pernah mengulasnya dalam tulisan “Tak Ada Transportasi Lebih Mematikan dari Trem Uap di Batavia.”
Rute trem listrik ini berkembang sampai enam jalur. Pertama, Pasar Ikan-Kampung Melayu. Kedua, Pasar Ikan-Gondangdia, Ketiga, Pasar Ikan-Gondangdia via Sawah Besar. Keempat, Pasar Ikan-Tanah Abang. Kelima, Tanah Abang-Jakarta Kota. Keenam, Jakarta Kota-Jembatan Lima.
Berkat kesohornya trem listrik, Penulis Belanda, Louis Couperus dalam novelnya yang berjudul De Stille Kracht (1900) sampai memuat perkara eksistensi trem listrik di Batavia. Couperus menyebut orang Eropa yang menggunakan trem listrik kala itu sebagai bentuk kikirnya mereka di negeri koloni Belanda.
“Di pagi hari, ketika ia berbelanja di toko-toko di Rijswijk dan Molenvliet, yang, beberapa diberi nama Prancis, mencoba memberi kesan pusat belanja wilayah selatan sebuah kemewahan Eropa, Eva melihat eksodus ke Kota Lama orang kulit putih. Eksodus itu memadati trem dengan beban putih kematian. Banyak, yang sudah kaya, tetapi belum cukup kaya untuk tujuan-tujuan mereka, naik trem bersama kereta-kereta mereka ke Klub Harmoni, ke mana mereka naik trem untuk menghemat kuda mereka,” cerita Couperus.
Senjakala trem listrik
Eksistensi trem listrik nyatanya berumur panjang. Setelah Indonesia merdeka dari penjajahan Belanda, jaringan trem listrik masih beroperasi di beberapa jalan utama Jakarta. Antusias masyarakat Indonesia kala itu cukup tinggi akan kendaraan pengangkut umum peninggalan kolonial Belanda pada awal 1950-an.
Sayangnya, pada sekitar tahun 1959 trem listrik dihentikan pengoprasiannya. Usut punya usut, penghentian tersebut tak lain karena persoalan kekurangan dana untuk merawat dan meremajakannya. Oleh sebab itu empunya kebijakan memutuskan untuk menyetop operasi trem listrik. Sampai-sampai, bekas relnya nyaris tak tersisa.
“Bekas relnya sekarang sudah tertutup aspal jalanan, tidak ada bekasnya lagi. Pada waktu penggalian di pinggir jalan di daerah Kota untuk proyek peremajaan Kota Tua oleh Pemerintah DKI Jakarta pada 2006, telah ditemukan beberapa bekas rel trem listrik ini. Tiang-tiang penyangga kabel listriknya pun sudah tidak ada lagi. Sungguh sayang sekali trem listrik ini dihilangkan,” tulis Firman Lubis dalam buku Jakarta 1950-1970 (2018).
Sayangnya dihentikan
Firman Lubis mengkritik pemberhentian operasional trem listrik tersebut. Ia menyebut empunya kebijakan tak becus merawat serta meningkatkan sarana transportasi publik penting seperti trem listrik.
Hal itu diperparah dengan tak adanya tenaga ahli di bidang tata kota, khususnya bidang transportasi umum. Padahal, kehadiran trem listrik sangat praktis dan bebas dari polusi.
BACA JUGA:
Tak hanya Firman, Heri Sugiarto dalam buku Overland: Dari Negeri Singa Ke Daratan Cina Jilid 2 (2018), sempat menyinggung sedikit perihal kejayaan trem yang akhirnya gulung tikar. Kata Heri, diberhentikannya pengoperasian trem listrik karena pemerintah orde lama merasa trem kurang cocok dengan rencana pengembangan Jakarta di masa depan.
“Namun, sayangnya kejayaan trem listrik tak berlangsung lama dan harus berakhir pada 1960-an di masa Order Lama. Untuk trem di Jakarta kabarnya ada beragam alasan yang membuat trem ini diberhentikan pengoperasiannya salah satunya pemikiran Presiden Soekarno yang menganggap bahwa trem kurang cocok untuk berada di Jakarta dan menginginkan adanya kereta bawah tanah,” tutup Heri Sugiarto.