Sejarah Fahmi Idris dan Laskar Ampera Arief Rachman Hakim Tumbangkan Orde Lama
JAKARTA - Tewasnya Arief Rachman Hakim (ARH) membawa kedukaan bagi segenap bangsa Indonesia. Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) ditembak mati empunya kuasa. Kematiannya laksana martir perjuangan angkatan 66. Segenap mahasiswa pun menggagas Laskar Ampera ARH. Fahmi Idris didaulat sebagai komandan.
Organisasi mahasiswa yang bercorak militeristik itu memiliki peran vital. Gerakan Laskar Ampera ARH mampu menumbangkan kepemimpinan Soekarno dan Orde lamanya.
Pergerakan mahasiswa memiliki pengaruh besar dalam perjalanan eksistensi bangsa. Aksi mahasiswa tahun 1965-1966, misalnya. Tahun itu segenap mahasiswa di seluruh ibu kota menuntut hal sama: Tri Tuntutan Rakyat (Tritura). Bubarkan Partai Komunis Indonesia (PKI), perombakan kabinet, dan turunkan harga.
Tiga tuntutan itu disampaikan mahasiswa ketika turun ke jalan pada 10 Januari 1966. Sebab, saban hari kehidupan rakyat semakin susah. Alih-alih untuk bermewah-mewahan, untuk makan sehari-hari rakyat Indonesia banyak yang tak mampu.
Kondisi itu bertambah parah ketika empunya kekuasaan sendiri tak peka. Presiden hingga pembantunya --menteri-menteri-- sering kali mempertontonkan kemewahan. Padahal, rakyatnya sendiri di tengah kesulitan. Alias dalam istilah populer: rakyat antre nasi, di istana dansa-dansi. Apalagi pemerintah dianggap lembek terhadap PKI.
Aksi mahasiswa pun tak tertahankan. Namun, seorang mahasiswa ARH ketiban apes pada 24 Februari 1966. Ia tampaknya baru pertama kali melakoni unjuk rasa. Itu pun langsung di depan Istana Merdeka. Petugas keamanan yang ingin membubarkan pengunjuk rasa lalu melepaskan tembakan. Salah satu tembakannya mengenai dan menewaskan ARH. Sebagai bentuk simpati, Soeharto dan A.H. Nasution pun mengirimkan karangan bunga.
“Kebetulan demostrasi yang pertama kali diikutinya adalah demonstrasi di depan Istana Merdeka pada 24 Februari 1966. Waktu itu mahasiswa memprotes sidang dan pelantikan Kabinet Dwikora yang disempurnakan. Rupanya aksi-akis mahasiswa ini dianggap cukup mengganggu dan mengancam oleh pasukan Tjakrabirawa. Entah bagaimana mulainya, tiba-tiba pasukan Tjakrabirawa melepaskan tembakan yang entah disengaja atau tidak tertuju pada para demostran.”
Baca juga:
- Sejarah Hari Ini, 23 Mei 1965: Jakarta Memerah Saat Perayaan Ulang Tahun PKI Ke-45
- Mahaguru Bung Karno, Charles Prosper Wolff Schoemaker Meninggal Dunia dalam Sejarah Hari Ini, 22 Mei 1949
- Sejarah Hari Ini, 21 Mei 1831: Pemerintah Hindia Belanda Keluarkan Aturan Soal Penanganan ODGJ
- Sejarah Hari Ini, 19 Mei 1933: Belanda Perintahkan Penangkapan Rasuna Said
“Bagi yang telah terbiasa berdemo, tentu akan langsung tiarap atau berlindung di balik sesuatu saat mendengar suara tembakan. Namun, karena baru pertama kali ikut berdemo, Arief kurang cepat tiarap atau berlindung sehingga sebuah peluru menghantam tubuhnya. Selain Arief, beberapa orang lainnya juga terkena tembakan. Namun, hanya ARH yang akhirnya menemui ajal dibawa ke RSPAD,” ungkap aktivis mahasiswa angkatan 66 yang juga teman sekelas ARH, Firman Lubis dalam buku Jakarta 1950-1970 (2018).
Laskar Ampera Arief Rachman Hakim
Terbunuhnya ARH makin memperberat posisi Soekarno dan Orde Lamanya di pucuk kepemimpinan. Segenap Mahasiswa menjadikan momentum kematian ARH sebagai alat perjuangan melawan pemerintahan Soekarno.
Kematian ARH nyatanya membuka mata banyak pihak untuk berjuang bersama mahasiswa. Militer pun ikut, khususnya Angkatan Darat (AD). Titik balik itu, menggugah mahasiswa dengan dukungan militer membentuk Laskar Amanat Penderitaan Rakyat (Ampera) Arief Rachman Hakim di Kampus Kedokteran UI, Salemba, pada 4 Maret 1966.
Seganap mahasiswa lalu menyusun struktur Laskar Ampera. Fahmi Idris yang aktif di Senat UI terpilih sebagai komandan. Sedang, Soemarno Dipodisastro sebagai kepala staf. Semula, Laskar Ampera dibentuk identik dengan unsur militeristik.
Sekalipun anggotanya didominasi oleh mahasiswa. Semua itu terlihat dari kehadiran struktur laskar yang memiliki tujuh batalyon yang dinamakan dengan nama pahlawan revolusi. Alias mereka yang ditumbangkan di Gerakan 30 September (G30S). Antara lain Batalyon Ahmad Yani, Batalyon S. Parman, Batalyon M.T. Haryono, dan lain sebagainya.
Ajudan Pribadi Bung Karno, Maulwi Saelan mengungkap awalnya tiada niatan Fahmi Idris dan Laskar Amperanya untuk menumbangkan pemerintahan Orde Lama. Akan tetapi, Bung Karno cenderung seakaan-akan melindungi PKI. Sikap itu buat Laskar Ampera menganggap Bung Karno sama saja dengan PKI.
Segala macam pejabat yang dinilai pro-PKI menjadi sasaran dari Laskar Ampera. Gedung, kantor, hingga rumah pejabatan yang dianggap pro-PKI jadi sasaran penyerbuan. Mereka bahkan ikut menangkap 15 menteri Bung Karno yang dianggap pro-PKI.
Penangkapan yang dilakukan Laskar Ampera membuat Bung Karno otomatis tak memiliki loyalis. Tiada berani secara terang-terangan mendukung Soekarno. Akhir dari skenario itu membuat langkah Soeharto mulus menjadi orang nomor satu Indonesia. Tongkat estafet kepemimpinan pun diambilnya dari Bung Karno.
“Komandan resimen laskar ini adalah Fahmi Idris dan model organisasinya menurut Media Indonesia, sangat militeristik, lengkap dengan pasukan komando beserta komposisi batalyon sampai kompi atau rayon. Tak begitu sulit membentuk struktur sekaligus mengisi pos-pos yang ada, karena dengan mudah rekruitmen dipenuhi oleh anggota Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) yang sudah mempunyai jaringan organisasi yang paling siap.”
“Laskar inilah yang yang menyerbu gedung-gedung, kantor-kantor, dan rumah-rumah para pejabat yang dianggap pro-PKI. Laskar ini juga ikut menangkap para menteri yang dianggap kekiri-kirian. Sebanyak 15 menteri yang ditangkap, tentu atas perintah Soeharto sebagai pemegang Supersemar dengan mengatasnamakan Presiden/Panglima Tertinggi,” ungkap ajudan pribadi Bung Karno, Maulwi Saelan dalam buku Dari Revolusi 45 sampai Kudeta 66: Kesaksian Wakil Komandan Tjakrabirawa (2008).