Pakar Hukum: UU Cipta Kerja Terbentuk dari Proses Legislasi Terburuk Pasca-reformasi
JAKARTA - Pakar hukum tata negara, Bivitri Susanti mengatakan proses penyusunan RUU Omnibus Law Cipta Kerja hingga disahkan menjadi undang-undang menjadi proses legislasi terburuk dalam catatannya. Sebab, proses ini bertentangan dengan prosedur dan prinsip ketatanegaraan.
Salah satu indikasi pembentukan UU ini menjadi proses legislasi terburuk adalah karena berubah-ubahnya draf naskah hingga pembahasan yang terkesan terburu-buru.
"Kalau pertanyaannya apakah mengubah naskah, tidak ada informasi, dan sebagainya itu melanggar hukum tata negara secara prosedural, iya. Melanggar prinsip iya juga. Jadi ini praktik yang sangat buruk dalam catatan kami. Bahkan ini yang terburuk dalam proses legislasi selama ini, terutama pasca reformasi," kata Bivitri dalam sebuah agenda diskusi yang ditayangkan secara daring, Sabtu, 17 Oktober.
Dia kemudian memaparkan, dari segi pembahasan, UU Cipta Kerja ini sebenarnya telah menabrak aturan yang ada dalam UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang pembentukan peraturan perundang-undangan yang diubah dengan UU Nomor 15 Tahun 2019 dan tata tertib DPR RI. Karena, persetujuan di tingkat I atau di tingkat Baleg DPR RI terjadi pada tengah malam.
"Persetujuan tingkat I itu yang terjadi di RUU Cipta Kerja pada hari Sabtu 3 Oktober di atas jam 10 malam. Ini tidak wajar," ungkapnya.
Tak adanya naskah lengkap dan final juga menjadi sorotan Bivitri. Kata dia, lazimnya, sebagaimana diatur dalam undang-undang sebelum disahkan di tingkat I, rancangan perundangan yang akan diparipurnakan harus memiliki draf final.
"Biasanya di tingkat I ada naskah lengkapnya. Nah, ini kita tahu terlalu terburu-buru," tegasnya.
Baca juga:
Selanjutnya, Bivitri juga menyinggung masalah rapat paripurna yang sedianya dilaksanakan pada 8 Oktober justru maju selama tiga hari menjadi 5 Oktober tanpa pemberitahuan secara jelas. "Ini juga menyalahi prosedur. Jadi tanggal 3 dikebut, ini tentu saja belum siap," katanya.
Kemudian terkait jumlah halaman draf yang berubah-ubah dari mulai 905 halaman, 1052 halaman, 1035 halaman, dan terakhir 812 halaman yang juga diserahkan ke Presiden Joko Widodo turut menjadi sorotannya. Bivitri menyebut klaim DPR RI terkait perubahan halaman terjadi karena adanya perubahan format dan ukuran kertas merupakan hal yang invalid.
"Klaimnya kan cuma dari kertasnya dari A4 ke folio. Keliru. Kami sudah gunakan software, zaman sekarang kan gampang ya. Kami sudah gunakan software, ada perbedaan tuh. Masing-masing punya perbedaan secara substansi juga berbeda. Nah ini jelas melanggar prosedur," jelasnya.
"Ini secara teks ya, dan secara prosedur, tolonglah, jangan hanya bicara teks peraturan perundang-undangan tapi secara prinsip melanggar moralitas demokrasi. Ketuk palu bukan cuma seremoni ya. Demokrasinya dalam sbuah negara demokrasi, itu semua persetujuan bersama wujud dari pasal 20 UUD 1945 ayat 2 bahwa setiap undang-undang itu persetujuan bersama antara presiden yang diwakili menterinya dengan anggota DPR. Nah, jadi ada makna besar dalam demokrasi kita," pungkasnya.