Faisal Basri: Presiden Jokowi Sedang Menerapkan Politik Upah Murah melalui UU Cipta Kerja
JAKARTA - Ekonom Faisal Basri mengatakan, alasan pemerintah menerbitkan Undang-Undang Omnibus Law Cipta Kerja untuk menarik investasi asing masuk ke Indonesia tidak tepat. Sebab, tanpa UU Cipta Kerja pertumbuhan investasi asing yang masuk ke RI sangat baik.
"Investasi kita tidak ada masalah, saya sekadar menunjukkan beberapa saja investasi khusus asing. Katanya Indonesia kalah dengan Vietnam, Thailand, dan Malaysia. Ini data resmi, data UNCTAD 2019, Indonesia itu masuk top 20. Tidak ada Vietnam, Malaysia, dan Thailand," katanya, dalam diskusi virtual bertajuk 'UU Cipta Kerja Vs Pemberantasan Korupsi', Kamis, 15 Oktober.
Bersarakan Data United Nations Conference on Trade and Development (UNCTAD) tahun 2019, yang masuk dalam 20 besar negara yang menjadi tuan rumah investasi asing langsung adalah Amerika Serikat, China, Singapura, Belanda, dan Irlandia.
Kemudian, Brasil, Hong Kong, Inggris, India, Canada, Jerman, Australia, Prancis, Mexico, Rusia, Italia, Siprus, Indonesia, Swedia dan Israel.
"Jadi kita lihat yang disampaikan pemerintah itu tidak berdasar. ASEAN di sini hanya diwakili oleh Indonesia dan Singapura," tuturnya.
Politik Upah Murah Lewat UU Cipta Kerja
Faisal mengatakan, jika yang dimaksud pemerintah adalah Indonesia kalah dengan Vietnam, Thailand dan Malaysia terkait relokasi perusahaan asing dari China, hal tersebut memang benar.
"Yang tidak ada itu relokasi industri dari China ke Indonesia. Memang kita tidak pantas untuk menguber-uber relokasi seperti itu. Karena relokasi itu adalah industri-industri padat karya yang mengandalkan upah buruh murah," jelasnya.
Menurut Faisal, karena faktor upah buruh murah ini yang membuat Indonesia kalah bersaing dengan Vietnam. Karena itu, kata dia, relokasi tersebut memang tak cocok di Indonesia.
Lebih lanjut, Faisal menyayangkan langkah pemerintah yang terus mendorong relokasi perusahaan asing dari China ke Indonesia untuk padat karya melalui UU Cipta Kerja. Ia menilai, pemerintah terlihat sedang menerapkan politik upah murah.
"Jadi tentu saja relokasi industri tidak tepat ke Indonesia buat mereka. Mereka larinya ke Bangladesh, Kamboja, Pakistan, dan Vietnam itu. Inilah yang saya sayangkan dari pidato Pak Jokowi. Jelas sekali pidato Pak Jokowi ini kita menerapkan politik upah murah," jelasnya.
Menurut Faisal, politik upah murah itu tergambar dari pernyataan Presiden Joko Widodo dalam rapat terbatas dengan gubernur-gubernur tekait kebutuhan UU Cipta Kerja untuk investasi.
"Pertama dia (Jokowi) bilang alasannya setiap tahun ada 2,9 juta penduduk usia kerja baru, anak muda yang masuk ke pasar kerja. Sehingga kebutuhan atas serapan lapangan kerja baru sangat-sangat mendesak," ujarnya.
Kemudian, kata Faisal, Jokowi juga mengatakan di tengah pandemi COVID-19 ini terdapat kurang lebih 6,9 juta pengangguran dan 3,5 juta pekerja terdampak pandemi COVID-19. Sehingga, perlu mendorong penciptaan lapangan pekerjaan baru khususnya di sektor padat karya.
Baca juga:
"Waktu itu kan pemerintah memasukkan ada upah minimum padat karya sektoral tetapi pada akhirnya tidak," tuturnya.
Faisal menjelaskan, jika dilihat klasifikasi pekerja berdasarkan pendidikan, 39 persen pekerja berpendidikan hanya sampai sekolah dasar (SD) atau tidak pernah sekolah sama sekali. Kemudian, pekerja yang berpendidikan sekolah menengah 18,34 persen. Artinya, sekitar 57 persen adalah tamatan SLTP ke bawah.
Lebih lanjut, Faisal mengatakan, yang menarik adalah jumlah pekerja yang menganggur terbanyak bukan mereka yang berpendidikan rendah. Sebab, semakin rendah tingkat pendidikan seseorang maka semakin sedikit pengangguran.
Kata Faisal, untuk tingkat SD angka penganggurannya hanya 2 persen. Kemudian, pengangguran tertinggi adalah mereka yang berpendidikan SMK. Kemudian, nomor dua terbanyak adalah diploma 1 dan diploma 3. Lalu, SMA, dan terakhir adalah mereka yang lulusan perguruan tinggi.
"Jadi orang-orang yang menganggur ini berpendidikan lebih tinggi dan usianya muda. Jadi tidak cocok kalau padat karya didorong-dorong. Orang yang berpendidikan rendah ini sudah kerja kok. Hanya sedikit saja yang menganggur," tuturnya.