Faisal Basri: Pemerintah Salah hanya Bergantung kepada Vaksin COVID-19

JAKARTA - Ekonom Senior lndef Faisal Basri memandang sektor keuangan hingga semester I 2020 menunjukkan laju pertumbuhan positif. Artinya, permasalahan bukan berada pada sektor keuangan. Tetapi, pada cara penanganan pandemi COVID-19 dan dampaknya.

Faisal mengatakan, rencana penerbitan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (Perppu) reformasi keuangan menunjukkan bahwa saat ini pemerintah sedang frustasi dalam menangani pandemi COVID-19.

Menurut Faisal, pembahasan rencana revisi Undang-undang (UU) nomor 23 tahun 1999 tentang Bank Indonesia (BI) juga tidak perlu dilakukan saat ini. Pemerintah, harus fokus pada penanganan COVID-19.

"Kuncinya, kembali bukan di sektor keuangan. Kuncinya di penanganan COVID-19 ini. Sekarang penanganan COVID-19 belum ada solusi jangka pendek dan menengahnya sebelum hadirnya vaksin," tuturnya, dalam diskusi Indef, Kamis, 1 Oktober.

Faisal mengatakan, pemerintah sudah salah bergantung pada vaksin yang belum tentu juga efektif bisa menghilangkan wabah COVID-19 dari Tanah Air. Lebih lanjut, Faisal mengatakan, penambahan kasus positif COVID-19 baru kian hari semakin tinggi meskipun pemerintah sudah berusaha untuk meningkatkan tracing.

"Sudah begitu habis habis uang untuk tracing tapi contact tracing-nya lemah dan itu diakui sendiri oleh juru bicara satgas. Sampai sekarang kalau kena positif COVID-19 itu di tracingnya cuma 3 orang. Kalau di Jakarta kurang dari dua. Jadi apa gunanya tracing kalau tidak disertai penelusuran kontak," jelasnya.

Menurut Faisal, kemampuan pemerintah melakukan testing hanya lebih baik dari 12 negara yang bahkan kasus positif COVID-19 sudah menembus 10.000.

"Oke sekarang diperbanyak sampai kemarin sudah mencapai 12.000 per 1 juta penduduk. Tapi itu hanya lebih tinggi dari 12 negara di dunia yang kasusnya di atas 10.000, 10 negara di Afrika yang pendapatannya rendah dan menengah, serta dua negara di Asia, Afghanistan dan Myanmar," tuturnya.

Faisal mengatakan, jika terus seperti ini bukan tidak mungkin kasus positif baru akan semakin tinggi. Apalagi, saat ini kasus menjalar terus hingga di atas 4.000. Bahkan, dalam kurun waktu hari bertambah 50.000 kasus baru.

"Awalnya 115 hari itu nambah 50.000, sekarang hanya tinggal 13 hari (lagi) untuk menambah 250.000 dan saya perkirakan hanya butuh 11 hari (ke depan) untuk mencapai 300.000 kasus," katanya.

Menurut Faisal, pemerintah harus menyelesaikan permasalahan sebenarnya yaitu COVID-19. Sebab, jika tidak ditangani dari pusat permasalahannya, imbasnya akan menjalar ke semua sektor.

"Ayo atasi COVID-19 ini kalau tidak semua sektor pun akan terhempas semua ini akan merah, mungkin sektor komunikasi dan informasi saja nih yang (positif) karena kita makin banyak menggunakan jasa ini (digital)," tuturnya.

Sementara itu, Ekonom UI Fithra Faisal mengatakan, guncangan di sektor keuangan terkait independensi BI dan perubahan kewenangan OJK semestinya tidak perlu terjadi di tengah pandemi COVID-19.

"Ini tidak kita perlukan sekarang dan bahkan bisa mengacaukan keadaan," tuturnya.

Menurut dia, krisis pandemi COVID-19 terjadi bukan berasal dari iklim eksternal tetap lebih kepada homogen bahwa yang membedakan hanya recovery rate dan kebijakan di masing-masing negara.