Resesi Tak Perlu Didramatisir, Ini Alasannya Menurut Ekonom UGM
JAKARTA - Guru Besar Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Gadjah Mada (UGM) Prof. Dr. Insukindro, MA, menyebut bahwa masyarakat serta media tidak perlu mendramatisir kondisi resesi. Resesi, menurutnya, adalah hal yang kerap dialami negara-negara di dunia dan merupakan bagian dari siklus perekonomian suatu negara.
"Banyak surat kabar menggunakan kata-kata jurang resesi, sebenarnya tidak ada seperti itu. Baik resesi, inflasi, pertumbuhan ekonomi, dan lainnya, itu bisa terjadi kapan saja," ucapnya dikutip dari laman UGM. Jumat 25 September.
Ia memaparkan, definisi yang paling populer menyebut resesi terjadi ketika penurunan Produk Domestik Bruto (PDB) atau Growth Domestic Product (GDP) terjadi selama dua kuartal berturut-turut. Meski demikian, The National Bureau of Economic Research (NBER) sendiri tidak mendefinisikan resesi secara demikian, melainkan sebagai penurunan signifikan dalam aktivitas perekonomian yang berlangsung selama lebih dari beberapa bulan.
"Sejauh yang sekarang dipahami kalau dua kuartal berturut-turut GDP turun maka itu resesi (konsep Julius Shiskin, akhir tahun 1974). Di Indonesia ekonom birokrat dan akademisi banyak yang menganggap itu konsep resesi yang sudah dipakai di Amerika, padahal ternyata NBER tidak menggunakan konsep itu," paparnya.
Besaran ekonomi ini, lanjut Insukindro, umumnya terkait dengan siklus ekonomi (economic cycle) atau siklus bisnis (business cycle). Dengan menggunakan siklus bisnis, secara umum resesi dimulai saat aktivitas perekonomian mencapai titik puncak (peak) dan berakhir saat perekonomian berada pada titik palung (through).
Resesi, terangnya, adalah bagian dari siklus ekonomi yang dapat diperkirakan dengan fluktuasi ekonomi (fe). Nilai lebih kecil dari nol berarti resesi, dan sebaliknya nilai lebih besar dari nol berarti ekspansi. Dengan pengertian ini, menurutnya, Indonesia sebenarnya sudah mengalami resesi pada kuartal pertama tahun 2020.
Dalam penelitian yang ia lakukan beberapa waktu yang lalu menggunakan PDB harga tetap tahun 2010 dan pendekatan HP Filter serta Tren Linier, Insukindro menemukan bahwa fluktuasi ekonomi kuartalan di Indonesia pernah negatif dan juga positif.
Baca juga:
"Periode 2020 kuartal satu dan kuartal dua Indonesia mempunyai fluktuasi ekonomi negatif yang berarti resesi. Pada saat yang bersamaan, pertumbuhan ekonomi kuartal ke kuartal di Indonesia juga negatif," ucapnya.
Ia mengungkapkan bahwa pemerintah, ekonom, maupun media massa perlu menghentikan narasi yang menggambarkan resesi sebagai kondisi yang menakutkan yang belum pernah dialami Indonesia sebelumnya, atau sesuatu yang baru terjadi karena pandemi COVID-19.
Meski demikian, ia mengakui bahwa pandemi membuat resesi yang dialami Indonesia saat ini lebih tajam dari tahun-tahun sebelumnya, dan hal ini merupakan masalah serius yang perlu ditangani.
"Resesi itu sendiri bisa terjadi hampir setiap tahun. Yang akan jadi masalah kalau penurunannya dalam dan lama," kata Insukindro.
Untuk mendeteksi resesi, ekonom seperti Hubbard menggunakan formula kesenjangan output yang diukur menggunakan PDB riil potensial, sementara ekonom lain seperti Gordon mengukur fluktuasi ekonomi dengan menggunakan PDB riil alamiah.
Meski demikian, dalam kenyataannya potensial output atau natural real GDP tidak dapat diobservasi sehingga sering diproksi dengan menggunakan output perkiraan. Karenanya ia kemudian mengembangkan persamaan fluktuasi ekonomi. Fluktuasi inilah yang nantinya akan mencerminkan resesi.