Bamsoet: Deskripsi tentang Resesi Tak Perlu Didramatisir
Ketua MPR RI, Bambang Soesatyo. (Foto: Istimewa)

Bagikan:

JAKARTA - Ketua MPR RI Bambang Soesatyo (Bamsoet) menyatakan, ketika upaya pemulihan ekonomi harus berjalan terseok-seok karena jumlah kasus COVID-19 di dalam negeri terus bertambah, ihwal resesi cukuplah diinformasikan apa adanya dan didukung data terkini.

"Pandemi COVID-19 sudah membuat kehidupan semua komunitas tidak nyaman, sehingga deskripsi tentang resesi tak perlu didramatisir atau dijadikan teror kepada masyarakat," ujar Bamsoet dikutip dari Antara, Jumat 21 Agustus.

Menurutnya, resesi ekonomi sebagai akibat dari pandemi global COVID-19 itu predictable. Sejak Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menetapkan virus corona menjadi pandemi global, banyak orang awam sekalipun sudah bisa menghitung apa akibatnya, terutama terhadap sektor ekonomi.

Sejak awal pandemi sudah dimunculkan perkiraan dan perhitungan tentang resesi baik oleh tim ekonomi pemerintah maupun oleh Bank Dunia, Dana Moneter Internasional (IMF), hingga Organisasi Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD).

"Karena fakta tentang saling ketergantungan di sektor ekonomi, semua negara menerima dan merasakan ekses dari pandemi. Melemahnya kinerja perekonomian global menyeret puluhan negara masuk ke zona resesi. Kinerja ekonomi melemah karena putaran mesin ekonomi sengaja dan harus dihentikan sementara dalam kerangka penguncian atau lockdown itu," papar Bamsoet.

Penguncian harus dilakukan sebagai cara mengendalikan penularan COVID-19. Sudah barang tentu akibatnya bisa dikalkulasi. Sejak awal Agustus 2020 belasan negara secara teknikal dilaporkan sudah resesi.

"Sebagaimana sedang dirasakan bersama, perekonomian nasional pun tak luput dari ekses pandemi COVID-19. Setelah masih bisa mencatat pertumbuhan positif pada kuartal I 2020, perekonomian nasional terkontraksi atau tumbuh negatif di kuartal dua tahun ini. Prediksi ini pun sudah dipaparkan satu-dua bulan lalu," ujar Bamsoet.

Ekonomi Indonesia tumbuh negatif sebagai konsekuensi dari penerapan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Saat PSBB diterapkan, pabrik tidak berproduksi. Bekerja dan belajar pun cukup dari rumah saja. Konsumsi rumah tangga pun sempat menurun karena banyak keluarga menahan diri atau menunda belanja.

"PSBB perlu diterapkan guna mengendalikan atau memutus rantai penularan COVID-19. Mengacu pada data dan wilayah penularan COVID-19, Indonesia pun terpaksa harus menerapkan PSBB justru di pusat-pusat pertumbuhan seperti Jakarta dan semua kota besar di pulau Jawa. Dampaknya pun cukup mudah untuk dikalkulasi," jelasnya.

Ia mengatakan, pilihan atas PSBB atau penguncian praktis tak terhindarkan karena aspek kesehatan atau keselamatan semua orang menjadi keutamaan yang tidak boleh ditawar-tawar.

Kalau baru pada kuartal II 2020 terjadi kontraksi, perekonomian Indonesia belum bisa dikatakan resesi teknikal. Asumsi tentang resesi teknikal terpenuhi jika terjadi kontraksi dua kuartal berturut-turut.

"Karena itu, siapa pun hendaknya tidak memaksakan pandangan, asumsi atau penilaian pribadi maupun kelompoknya bahwa perekonomian Indonesia sudah masuk jurang resesi. Apalagi, jika diasumsikan akan terjadi krisis ekonomi," jelasnya.

Lebih lanjut, kata dia, tidak etis jika pandangan atau asumsi seperti itu dijejalkan ke ruang publik secara berkelanjutan untuk mempengaruhi atau menakut-nakuti orang banyak. Dalam situasi ketidakpastian seperti sekarang, menurut Bamsoet, antar-komunitas seharusnya saling menguatkan dan membangun harapan dengan menerapkan protokol kesehatan.