Pasukan Rusia dan Separatis Gempur Mariupol, Presiden Zelensky: Tidak Ada yang Tersisa di Sana
JAKARTA - Serangan udara Rusia yang intens mengubah Mariupol yang terkepung menjadi 'abu tanah mati', kata dewan kota pada Hari Selasa, ketika Amerika Serikat dan Eropa merencanakan lebih banyak sanksi untuk menghukum Moskow atas invasinya ke Ukraina.
Pertempuran jalanan dan pemboman berkecamuk di Mariupol, kata pejabat Ukraina, sehari setelah menolak ultimatum dari Rusia untuk menyerah. Ratusan ribu diyakini terperangkap di dalam gedung, tanpa akses ke makanan, air, listrik, atau panas.
Pasukan Rusia dan unit separatis yang didukung Rusia telah menguasai sekitar setengah dari kota pelabuhan itu, yang biasanya menampung sekitar 400.000 orang, kata kantor berita Rusia RIA, mengutip seorang pemimpin separatis.
Pertempuran jalanan terjadi di kota itu, dan baik warga sipil maupun tentara Ukraina diserang oleh Rusia, kata gubernur regional Pavlo Kyrylenko.
"Tidak ada yang tersisa di sana," kata Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky dalam pidato video di depan Parlemen Italia, melansir Reuters 23 Maret.
Sementara itu, Wakil Walikota Mariupol Sergei Orlov mengatakan kepada CNN, kota itu berada di bawah blokade penuh dan tidak menerima bantuan kemanusiaan.
"Kota ini dibom terus menerus, dari 50 bom menjadi 100 bom yang dijatuhkan pesawat Rusia setiap hari. Banyak kematian, banyak tangisan, banyak kejahatan perang yang mengerikan," ungkap Orlov.
Mariupol telah menjadi fokus perang yang meletus pada 24 Februari, ketika Presiden Rusia Vladimir Putin mengirim pasukannya melintasi perbatasan dalam apa yang disebutnya operasi militer khusus, untuk mendemiliterisasi Ukraina dan menggantikan kepemimpinannya yang pro-Barat.
Kota ini terletak di Laut Azov dan penguasaannya akan memungkinkan Rusia, untuk menghubungkan daerah-daerah di timur yang dikuasai oleh separatis pro-Rusia, dengan semenanjung Krimea yang dianeksasi oleh Moskow pada tahun 2014.
Ukraina mengatakan peluru, bom, dan rudal Rusia telah menghantam teater, sekolah seni, dan bangunan umum lainnya, mengubur ratusan wanita dan anak-anak yang berlindung di ruang bawah tanah.
Wakil Perdana Menteri Iryna Vereshchuk, berbicara di televisi Ukraina pada Hari Selasa, menuntut pembukaan koridor kemanusiaan bagi warga sipil. Dia mengatakan setidaknya 100.000 orang ingin meninggalkan Mariupol tetapi tidak bisa.
Mengacu pada permintaan Rusia sebelumnya agar kota itu menyerah pada fajar pada Hari Senin, Vereshchuk mengatakan: "Militer kami membela Mariupol dengan heroik. Kami tidak menerima ultimatum. Mereka menawarkan penyerahan diri di bawah bendera putih."
Kyiv menuduh Moskow mendeportasi penduduk Mariupol dan wilayah Ukraina yang dikuasai separatis ke Rusia. Ini termasuk "pemindahan paksa" 2.389 anak-anak ke Rusia dari wilayah Luhansk dan Donetsk, kata Jaksa Agung Iryna Venediktova.
Menanggapi hal ini, Moskow membantah memaksa orang pergi, dengan mengatakan pihaknya menerima pengungsi.
Baca juga:
- Buntut Presiden Biden Sebut Vladimir Putin Penjahat Perang: Kemlu Rusia Nilai Tidak Pantas, Panggil Dubes AS
- Serang Pusat Perbelanjaan di Kyiv, Kementerian Pertahanan Rusia: Pangkalan Besar Penyimpanan Amunisi Roket
- Dinilai Sampaikan Perang Versi Sepihak, Kemhan Rusia Ingatkan Media Barat: Kami Telah Memberikan Bukti Lengkap
- Kecelakaan China Eastern Airlines: Maskapai Gelar Penyelidikan, Disebut Tidak Ada Penumpang Asing
Diketahui, invasi yang telah berlangsung selama 27 hari ini telah memaksa lebih dari 3,5 juta orang mengungsi, membawa isolasi ekonomi Rusia yang belum pernah terjadi sebelumnya, menimbulkan kekhawatiran akan konflik yang lebih luas di Barat yang tidak terpikirkan selama beberapa dekade.
Kantor hak asasi manusia PBB di Jenewa mengatakan pada hari Selasa bahwa pihaknya telah mencatat 953 kematian warga sipil dan 1.557 terluka sejak invasi. Kremlin membantah menargetkan warga sipil.