Ditanya Anggota DPR Pernah Komunikasi dengan Djoko Tjandra, Jaksa Agung Membantah
JAKARTA - Jaksa Agung ST. Burhanuddin membantah dirinya pernah berkomunikasi dengan terpidana kasus korupsi hak tagih Bank Bali, Djoko Tjandra.
"Saya sama sekali tidak mengenal yang namanya Djoko Tjandra. Saya tidak pernah komunikasi dengan Djoko Tjandra," kata Burhanuddin dalam Rapat Kerja Komisi III DPR RI secara fisik dan virtual di Kompleks Parlemen, Jakarta, dilansir Antara, Kamis, 24 September.
Dirinya juga mengaku tidak pernah memerintahkan Jaksa Pinangki Sirna Malasari untuk menangani perkara kasus Djoko Tjandra.
Burhanuddin mengatakan, perkara Djoko Tjandra tinggal eksekusi sehingga tidak ada upaya-upaya hukum lain.
"Ini hanya tinggal eksekusi, kalau ada yang menyatakan 'ini bisa PK', alangkah jaksa tersebut yang bodoh. Ini tinggal dilaksanakan, sudah ada putusan sehingga tidak ada alasan lagi bagi Jaksa untuk lakukan PK," ujarnya.
Dia mengatakan, Kejaksaan dalam menangani perkara kasus Pinangki secara terbuka dan dirinya tidak pernah menyampaikan apapun kepada penyidik.
"Saya minta lakukan dengan terbuka bahkan untuk dakwaan yang menyebut nama saya, saya tidak peduli. Kami terbuka lakukan penyidikan, dan teman-teman sudah lakukan itu," ujarnya.
Jaksa Agung juga membantah kedekatannya dengan Andi Irfan Jaya yang diduga sebagai perantara pemberi suap dari Djoko Tjandra ke Pinangki.
Burhanuddin mengatakan, dirinya mengenal Irfan Jaya ketika menjadi Kepala Kejaksaan Tinggi Provinsi Sulawesi Selatan saat itu Irfan mengaku sebagai aktivis Lembaga Swadaya Masyarakat.
"Dan sejak saat itu saya tidak pernah lagi berhubungan dengan yang bersangkutan. Saya waktu itu sedang mengumpulkan teman-teman LSM untuk diajak bicara bagaimana menyelesaikan perkara di Sulsel sehingga saya kenal Irfan hanya sebatas itu," katanya.
Dalam Raker tersebut, anggota Komisi III DPR RI Fraksi Partai Golkar Supriansa meminta penjelasan Jaksa Agung apakah benar pada saat Pinangki bertemu Djoko Tjandra, yang bersangkutan sempat video call dengan terpidana kasus tagih Bank Bali itu menggunakan gawai milik Pinangki.
Hal itu menurut dia harus dijawab Jaksa Agung agar tidak menjadi pertanyaan dan fitnah yang ada di publik karena selama ini belum diungkap kebenarannya.
"Lalu selain Pinangki, dari unsur Kejaksaan apakah ada Jaksa lain yang memberi bantuan kepada Pinangki dalam rangka menjalankan rencana-rencana tersebut, itu belum terungkap," ujarnya.
Supriansa juga meminta klarifikasi Jaksa Agung terkait kabar bahwa yang bersangkutan sangat dekat dengan Irfan Jaya. Dia juga meminta ketegasan Jaksa Agung apakah memiliki hubungan dekat dengan Irfan Jaya.
Sebelumnya diberitakan, Jaksa Agung ST Burhanuddin dan eks Ketua Mahkamah Agung (MA) Hatta Ali tertulis dalam surat dakwaan Jaksa Pinangki Sirna Malasari. Pinangki didakwa menerima uang 500 ribu dolar AS dari Djoko Tjandra dalam pengurusan fatwa MA agar Djoko Tjandra bebas dari pidana penjara kasus pengalihan hak tagih Bank Bali.
Penyebutan Burhanuddin dan Hatta Ali berawal pada 25 November 2019 saat Pinangki Sirna Malasari, Anita Kolopaking dan Andi Irfan Jaya melakukan pertemuan dengan Djoko Tjandra di The Exchange 106 Kuala Lumpur. Saat itu Pinangki menyerahkan action plan untuk pengurusan fatwa MA Djoko Tjandra.
"Dalam pertemuan itu Terdakwa (Pinangki Sirna Malasari), Andi Irfan Jaya menyerahkan dan memberikan penjelasan mengenai rencana/planing berupa action plan," kata Jaksa Penuntut Umum pada Kejaksaan Agung dalam sidang dakwaan di Pengadilan Tipikor, Jakarta Pusat, Rabu, 23 September.
Dalam action plan itu, Pinangki dan Andi Irfan merincikan langkah-langkah yang akan dilakukan supaya Djoko Tjandra tidak dieksekusi di kasus cessie Bank Bali. Dengan begitu Djoko Tjandra bisa pulang ke Indonesia dengan leluasa.
Baca juga:
Action plan yang dibuat Pinangki memuat 10 poin. Nama Burhanuddin dan Hatta Ali disebutkan dalam action plan poin dua, tiga, enam dan tujuh. Dalam poin dua disebutkan pengiriman surat dari pengacara kepada BR (Burhanuddin/Pejabat Kejaksaan Agung) yang dimaksudkan Pinangki Sirna Malasari sebagai surat permohonan fatwa Mahkamah Agung (MA) dari Pengacara kepada Kejaksaan Agung untuk diteruskan kepada Mahkamah Agung.
Penanggungjawab action plan ini adalah IR (Andi Irfan Jaya) dan AK (Dr. Anita Kolopaking) yang akan dilaksanakan pada tanggal 24 Februari 2020 sampai dengan 25 Februari 2020.
Action plan ketiga adalah BR (Burhanuddin/Pejabat Kejaksaan Agung) mengirimkan surat kepada HA (Hatta Ali/Pejabat Mahkamah Agung). Pinangki menurut jaksa menyebutnya sebagai tindak lanjut surat dari pengacara tentang permohonan Fatwa Mahkamah Agung. Penanggungjawab Action ini adalah IR (Andi Irfan Jaya) dan P (Pinangki, terdakwa) yang akan dilaksanakan pada tanggal 26 Februari 2020 sampai dengan 1 Maret 2020.
Sementara action plan ke-6 adalah HA (Hatta Ali/Pejabat Mahkamah Agung) menjawab surat BR (Burhanuddin/Pejabat Kejaksaan Agung). Yang dimaksudkan terdakwa adalah jawaban surat MA atas surat Kejagung tentang permohonan fatwa MA. Penanggung jawab action plan HA (Hatta Ali/Pejabat MA)/DK (belum diketahui) dan AK (Anita Kolopaking) yang akan dilaksanakan 6-16 Maret 2020.
Action plan ke-7 adalah BR (Burhanuddin/Pejabat Kejaksaan Agung) menerbitkan instruksi terkait surat HA (Hatta Ali/Pejabat Mahkamah Agung), yang dimaksudkah oleh Terdakwa adalah Kejaksaan Agung menginstruksikan kepada bawahannya untuk melaksanakan Fatwa Mahkamah Agung. Penanggungjawab Action ini adalah IF (belum diketahui) / P (Pinangki/terdakwa), yang akan dilaksanakan pada tanggal 16 Maret 2020 sampai dengan 26 Maret 2020.
Dalam dakwaan ini disebutkan, tidak ada satu pun action plan yang terealisasi. Padahal Djoko Tjandra sudah memberikan uang muka pada Pinangki sebesar 500 ribu dolar AS atau setara Rp7,5 miliar.
"Sehingga Djoko Tjandra membuat catatan dalam action plan no," kata Jaksa.
Pinangki didakwa dengan Pasal 5 ayat (2) jo Pasal 5 ayat (1) huruf a dan atau Pasal 11 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi