Gatot Nurmantyo Minta Jokowi Tunda Pilkada: Pemerintah Harus Punya Sense of Crisis
JAKARTA - Presidium Komite Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI) Gatot Nurmantyo dkk meminta pemerintahan Presiden Joko Widodo menunda pilkada serentak 2020. Pilkada diminta ditunda karena kondisi pandemi COVID-19.
“Sehubungan dengan rencana pelaksanaan pilkada serentak pada Desember 2020 ini, Komite Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI) meminta kepada Komisi Pemilihan Umum (KPU), dan penyelenggara negara khususnya Pemerintah untuk membatalkan/menunda Pelaksanaan Pilkada tersebut sampai dengan batas waktu yang aman bagi rakyat Indonesia,” kata Presidium KAMI Gatot Nurmantyo dalam keterangan tertulis, Minggu, 20 September malam.
“KPU dan pemerintah perlu memiliki perasaan keprihatinan (sense of crisis) terhadap pandemi COVID-19 yang melanda Tanah Air dan persebarannya masih meninggi dengan korban yang semakin banyak,” imbuhnya.
Penundaan pilkada sambung Presidium KAMI didasari keinginan agar pemerintah mengutamakan penanggulangan masalah kesehatan dan keselamatan rakyat dari pada hal lainnya seperti pemberian stimulus ekonomi maupun program politik yakn pelaksanaan pilkada.
“Hal ini semata-mata untuk menunaikan amanat Pembukaan UUD 1945 bahwa Pemerintah berkewajiban melindungi segenap rakyat dan Tanah Tumpah Darah Indonesia,” ujar Gatot yang berada di barisan Presidium KAMI bersama Rochmat Wahab dan Din Syamsuddin ini.
Baca juga:
Pelaksanaan pilkada saat ini menurutnya potensial mendorong laju pandemi COVID-19 dan berpotensi pelanggaran terhadap amanat konstitusi.
“Dan melanggar janji Presiden Joko Widodo sendiri yang pernah menyatakan akan mengutamakan kesehatan dari pada ekonomi,” tegas mantan Panglima TNI ini.
Gatot dkk meminta pemerintah bersungguh-sungguh menanggulangi pandemi COVID-19. Pemerintah juga diharapkan taat asas terhadap konstitusi.
Desakan menunda pelaksanaan pilkada karena pandemi COVID-19 memang terus disuarakan. Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian punya dua opsi untuk menyikapi desakan ini. Yaitu, penerbitan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) ataupun melakukan revisi aturan pilkada di tengah pandemi.
Opsi penerbitan Perppu, akan dibagi menjadi dua. Pertama, Perppu diterbitkan untuk mengatur secara keseluruhan masalah COVID-19 saat pelaksanaan pilkada mulai dari pencegahan hingga penegakan hukum.
"Atau kedua, Perppu spesifik protokol COVID untuk pilkada dan pilkades serentak. Karena pilkades ini sudah saya tunda semua ada 3.000," kata Tito dalam acara diskusi yang ditayangkan secara daring di YouTube, Minggu, 20 September.
Pilkada 2020
Pemilihan Kepala Daerah atau Pilkada 2020 akan menjadi spesial dibanding pesta demokrasi yang lain. Pilkada 2020 akan tercatat dalam sejarah karena pesta demokrasi ini diselenggarakan saat Indonesia masih masuk masa darurat penyebaran COVID-19.
Untuk memberikan kepastian hukum terkait pelaksanaan protokol kesehatan dalam penyelenggaraan Pilkada 2020, pemerintah menelurkan peraturan Komisi Pemilihan Umum (KPU) Nomor 6 Tahun 2020 atau PKPU No 6/2020. Beleid itu berisi aturan penerapan protokol kesehatan pada setiap tahapan Pilkada.
KPU juga menyiapkan simulasi proses pemungutan hingga penghitungan suara di tempat pemungutan suara dengan menerapkan protokol kesehatan pencegahan COVID-19 yang melibatkan Satuan Tugas Penanganan COVID-19. Pada penerapannya, KPU harus mengedepankan penggunaan media digital dalam sosialisasi ataupun kampanye. Selain itu KPU juga membatasi peserta sosialisasi secara tatap muka dan membatasi jumlah massa yang mendampingi proses pendaftaran calon peserta pilkada ke KPU.
Selain penyelenggara, partai politik dan bakal calon yang akan hadir dalam pendaftaran juga diwajibkan untuk menerapkan protokol kesehatan. Salah satu penerapannya antara lain saat penyerahan dokumen pendaftaran bakal pasangan calon Pilkada yang diatur Pasal 49 Ayat (1) PKPU 6/2020.
Dalam beleid itu diatur dokumen yang disampaikan harus dibungkus dengan bahan yang tahan terhadap zat cair. Lalu sebelum diterima petugas, dokumen itu disemprot dahulu dengan cairan disinfektan.
Dalam aturan itu juga petugas penerima dokumen wajib mengenakan alat pelindung diri berupa masker dan sarung tangan sekali pakai. Aturan lainnya: membatasi jumlah orang yang ada di dalam ruangan; dilarang membuat kerumunan; penyampaian dokumen harus berjarak dan antre; seluruh pihak membawa alat tulis masing-masing; menghindari kontak fisik; penyediaan sarana sanitasi yang memadai; dan ruangan tempat kegiatan dijaga kebersihannya.
Selain proses pendaftaran, pelaksanaan kampanye dan pemungutan suara juga dipastikan akan berbeda dari kondisi normal. Pada proses kampanye aturan protokol kesehatan tercantum pada Pasal Pasal 57-64.
Yang paling akan terasa berbeda pada Pilkada 2020 ini adalah, para pasangan calon harus sebisa mungkin membatasi diri bertemu dengan khalayak ramai. Dalam aturan itu juga diatur mengenai diskusi publik yang harus dilakukan di studio Lembaga Penyiaran. Pada pendukung tak diperkenankan hadir pada acara-acara tersebut.
Untuk mewujudkan peraturan tersebut pemerintah telah menambahkan anggaran penyelenggaraan Pilkada 2020. Berdasarkan data Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) akhir Agustus lalu, total anggaran pilkada sebesar Rp15,22 triliun. Sementara yang telah dicairkan pemerintah daerah sebanyak Rp12,01 triliun atau 92,05 persen. Sehingga masih ada 7,95 persen atau Rp1,21 triliun yang belum dicairkan.
Jumlah itu sudah termasuk anggaran tambahan sebagai biaya untuk mengantisipasi penyebaran COVID-19. Untuk Komisi Pemilihan Umum (KPU) anggaran ditambahkan sebesar Rp4,7 triliun, Bawaslu Rp478 miliar, dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) Rp39 miliar, dengan didukung Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).