JAKARTA - Anggota Komisi VII DPR RI Mulyanto meminta Presiden Joko Widodo (Jokowi) segera menerbitkan revisi Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 191 Tahun 2014 tentang Penyediaan, Pendistribusian dan Harga Jual Eceran BBM.
Menurutnya, hal ini lebih penting ketimbang sibuk mewacanakan kenaikan harga BBM bersubsidi.
Mulyanto menilai, kenaikan harga BBM bersubsidi sangat sensitif bagi kenaikan inflasi, terutama dari sektor transportasi dan juga dari sektor bahan pangan pokok.
“Ini adalah pilihan yang paling rasional di tengah daya beli masyarakat yang belum pulih benar, akibat pandemi Covid-19 serta kenaikan harga barang kebutuhan pokok masyarakat seperti minyak goreng, dan lain-lain,” ujar Mulyanto dikutip dari keterangan resmi, Selasa, 12 Juli.
Selain itu, penyaluran BBM subsidi hampir 60 persen tidak tepat sasaran.
"Belum lagi adanya dugaan kebocoran BBM bersubsidi ke industri dan ekspor ilegal ke negara tetangga," lanjut Mulyanto.
Menurutnya, jika pembatasan dan pengawasan BBM subsidi ini dapat dilakukan dengan baik, maka negara bisa menghemat APBN lebih dari 50 persen.
Dia juga meminta Jokowi tidak membanding-bandingkan harga BBM di Indonesia dengan di negara maju.
Namun, cukup membandingkannya dengan harga BBM di negeri tetangga seperti Brunei dan Malaysia.
“Contoh, harga bensin di Brunei untuk RON 90 sebesar Rp3.800 per liter, dan untuk bensin RON 95 sebesar Rp6.900 per liter. Di kita bensin Pertalite (RON 90) dijual dengan harga Rp7.650 per liter. Karenanya kalau pemerintah peka dan memiliki sense of crisis, maka regulasi terkait pembatasan penggunaan BBM bersubsidi ini, baik Solar maupun Pertalite, penting untuk segera ditetapkan. Jangan tertunda-tunda seperti sekarang ini," bebernya.
BACA JUGA:
Ibarat argometer, lanjut Mulyanto, beban subsidi yang tidak tepat sasaran, akan jalan terus jika revisi Perpres dimaksud tak kunjung rampung.
“Semakin lama kita menunda pembatasan penggunaan BBM bersubsidi, maka akan semakin lambat efisiensi anggaran dilakukan,” pungkasnya.