PDIP Ungkap Fakta Baru Biaya Pembangunan Sirkuit Formula E di Ancol, Bukan Rp60 Miliar Tapi Rp75 Miliar

JAKARTA - BUMD PT Jakarta Propertindo selaku penyelenggara Formula E dan PT Jaya Konstruksi selaku penggarap sirkuit menyebut biaya pembangunan sirkuit Formula E menelan anggaran Rp60 miliar. Anggaran ini berasal dari dana perusahaan PT Jakpro.

Namun, Anggota Komisi B DPRD DKI dari Fraksi PDIP, Gilbert Simanjuntak mengungkapkan bahwa biaya pembangunan lintasan balap mobil listrik itu mencapai Rp75 miliar.

Gilbert membeberkan, ternyata PT Jaya Konstruksi sudah membuat barrier (pembatas trek) sejak tahun 2020, di mana saat itu Formula E masih direncanakan di Monas dan kini dipakai di Ancol. Anggaran barrier tersebut sebesar Rp15 miliar dari dana perusahaan Jakpro.

"Ternyata itu barrier sebesar Rp15 miliar dan biaya membangun trek yang dipaksakan di Ancol Rp60 miliar, artinya total Rp75 miliar," kata Gilbert kepada wartawan, Kamis, 10 Maret.

Gilbert menyebut masalah penganggaran Formula E melanggar aturan perundang-undangan karena Jakpro maupun pihak Pemprov DKI tak memberikan data mengenai besaran biaya pembangunan secara transparan kepada DPRD.

"Semua serba tidak jelas, dan disini perlu Kemendagri, Kejaksaan, Kepolisian dan KPK untuk memperjelas," ucap Gilbert.

PDIP sebelumnya juga sempat mempersoalkan anggaran Rp60 miliar pembangunan sirkuit. Masalahnya, anggaran ini membengkak Rp10 miliar, dari nilai kontrak awal pengerjaan lintasan sebesar Rp50 miliar.

Biaya ini dianggarkan dari dana perusahaan Jakpro. Penambahan biaya ini disebabkan pekerjaan tambahan yang tidak masuk dalam prediksi Jakpro dan Jaya Konstruksi, yakni pengerasan tanah yang masih lunak.

Ketua Fraksi PDIP DPRD DKI Gembong Warsono heran kenapa biaya pembangunan lintasan balap mobil listrik ini bisa membengkak di luar prediksi awal. "Saya bukan sekadar bingung lagi, tapi pusing," kata Gembong.

Meskipun pengerjaan sirkuit menggunakan anggaran perusahaan, namun Jakpro tetaplah perusahaan milik Pemprov DKI. Yang mana, penyertaan modal perusahaan mereka diambil dari APBD DKI.

Gembong menegaskan, seharusnya Jakpro bisa menjalankan perusahaannya untuk mendulang keuntungan kepada Pemprov DKI.

"Yang digunakan oleh Jakpro itu adalah dana dari rakyat Jakarta. Itu persoalannya. Jakpro itu punya duit berdasarkan yang diberikan Pemprov DKI Jakarta melalui penyertaan modal, kan," ucap Gembong.

"Artinya, Jakpro diperintahkan oleh Pemerintah DKI untuk cari duit cari untung. Lah ini, enggak buntung saja sudah bagus. Tapi ini semua terjadi karena Jakpro dipaksa untuk tahu dari persoalan yang dia tidak tahu," lanjut dia.