Indonesia Belum Berpengalaman, Akademisi Ini Ingatkan Indonesia Hati-hati Saat Bangun IKN
JAKARTA - Akademisi Nanyang Technological University (NTU) Singapura, Sulfikar Amir mengatakan pembangunan Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara di Kalimantan Timur adalah sebuah tantangan. Apalagi, Indonesia selama ini belum pernah punya pengalaman membangun kota dari nol atau masih tanah kosong.
"Selama Indonesia merdeka, kita belum pernah punya pengalaman membangun sebuah kota yang benar-benar from scratch atau dari awal. Dari tanah kosong, lalu kemudian membangun sebuah perkotaan yang begitu kompleks yang kemudian bisa berkembang menjadi suatu sistem urban yang dinamis dan berkelanjutan," kata Sulfikar dalam diskusi virtual Kosadata bertajuk Merancang IKN jadi Smart Forest City, Kamis, 3 Maret.
Sulfikar menyebut pembangunan IKN sebagai proyek berskala besar dan bernilai mahal ini punya tingkat risiko kegagalan yang tinggi. Dirinya kemudian menyinggung sebuah buku berjudul Seeing Like A State karya James Scott yang merupakan antropolog dan sosiolog dari Yale University.
Kata dia, di dalam buku itu, James menggambarkan sejumlah proyek berskala besar yang akhirnya gagal karena berbagai faktor. Salah satunya karena visi para pemimpin atau elit politik yang ketika keinginannya ingin diwujudkan, justru tidak sesuai dengan realita yang ada di masyarakat.
"Jadi ada semacam penyederhanaan realitas sosial politik dan ketika visi itu diwujudkan akhirnya bersifat kontradiktif," ujarnya.
Hal inilah, sambung Sulfikar, yang harus dipelajari secara seksama dan bijaksana oleh pemerintah. Apalagi, anggaran proyek IKN Nusantara ini tidak main-main dan berjangka panjang.
"Kita harus hati-hati banyak hal yang bisa kita pelajari, tidak hanya dari apa yang pernah kita lakukan tapi apa yang dilakukan negara-negara lain," tegasnya.
"Kita harus bisa objektif untuk melihat permasalahan-permasalahan, tanpa harus mencoba menutupi persoalan itu, karena mungkin kita memang pernah mau terbuka untuk menyatakan bahwa proyek yang dikerjakan itu belum dilakukan dengan baik," imbuh Sulfikar.
Akademisi ini juga menilai pemindahan ibu kota dari DKI Jakarta ke Nusantara sebenarnya akan membawa permasalahan besar.
Permasalahan yang mengakar di Jakarta, kata dia, tidak begitu saja selesai dengan dipindahkannya ibu kota ke tempat baru. Justru, ketika tak ada perhatian pemerintah pusat karena sibuk mengurusi tempat baru hal ini bisa semakin parah.
VOIR éGALEMENT:
Lagipula, Sulfikar menilai pemerintah pusat sebenarnya kurang turut serta dalam upaya menyelesaikan masalah di Provinsi DKI Jakarta. "Kalau kita lihat misalnya kontribusi dari gedung-gedung dan segala aktivitas pemerintahan nasional di Jakarta itu terhadap permasalahan urban di Jakarta di bawah 10 persen. Kontribusi terhadap banjir, kontribusi terhadap kemacetan dan sebagainya," ungkap Sulfikar.
"Karena itu memindahkan Ibu Kota dari Jakarta, tidak serta merta akan menyelesaikan masalah di Jakarta. Justru akan meninggalkan permasalahan besar karena ketika kita tahu Jakarta belum selesai lalu kemudian Ibu Kota dipindah dan akhirnya kita tidak pernah menyelesaikan masalah secara lebih matang," tambahnya.
Terakhir, Sulfikar juga menyayangkan rencana pemindahan IKN yang masih menggunakan intuisi atau gagasan yang berdasarkan naluri, tanpa melibatkan pikiran atau pertimbangan yang logis. Menurutnya, tak ada rasionalitas terukur yang digunakan pemerintah dalam upaya memindahkan ibu kota.
"Rasionalitas dari pemindahan IKN itu masih bersifat intuitif, sayang sekali. Jadi, tidak ada rasionalitas terukur yang dipakai oleh pemerintah untuk mengatakan, ‘Oke Ibu Kota Negara kita pindahkan ke Kalimantan Timur karena alasan ini dan itu'. Kemudian ada bukti empirisnya, ada kajian-kajian teoritis dan analitiknya sehingga semua orang setuju," pungkasnya.