Eksklusif Rano Karno Melepas Karakter Si Doel Anak Betawi Sepenuhnya

JAKARTA - Setiap menyebut nama Rano Karno, bayangan Si Doel Anak Betawi akan melekat. Bahkan tak jarang ada yang memanggil Rano dengan sebutan Bang Doel. Peran yang dibawakannya sejak kecil hingga dewasa itu membuat sosok Rano sendiri seolah terlupakan.

Ini bukan sebuah pertanda jelek, tapi justru terlihat kualitas akting dan konsistensi Rano dalam memerankan Si Doel sangat diterima penggemar. Metamorfosis peran yang dijalaninya membuat Rano juga memiliki penggemar berjenjang, sampai empat generasi sampai saat ini.

Rasanya tak ada aktor lain di Indonesia yang bisa menyamai pencapaian tersebut. Tapi tak ada pesta yang tak usai, Rano akhirnya memilih untuk mengakhiri perannya sebagai Si Doel dalam film Akhir Kisah Cinta Si Doel pada 2018 lalu. Pilihan antara Zaenab atau Sarah yang membuat penonton ikut galau diakhiri.

Berakhirnya kisah itu membuat Rano bisa bergerak maju. Pria kelahiran 8 Oktober 1960 ini bisa sepenuhnya melepas karakter Si Doel Anak Betawi. Dalam film Ada Mertua di Rumahku yang tayang di KlikFilm mulai 14 Januari lalu, Rano berperan sebagai Bambang, mertua dari Roger Danuarta dan Cut Meyriska yang berasal dari Jawa Timur.

Rano Karno (Foto: Savic Rabos, DI: Raga/VOI)

"Waktu pertama saya bawa skenario film ini saya surprise juga. Saya sangat tahu cerita ini kan buat OTT KlikFilm. Yang saya tahu, OTT itu segmented penontonnya lebih ke milenial. Nah saya lihat KlikFilm berani mengangkat drama dengan kisah mertua," ujar Rano saat ditemui Tim VOI di kediamannya, Lebak Bulus, Senin, 17 Januari.

"Sesuai dengan judulnya, berarti peran utamanya adalah mertua, berarti tokoh orang tua kan. Jadi buat saya, ini satu poin keberanian KlikFilm memberikan alternatif tontonan kepada penonton agar ada variasi," lanjutnya.

Film Ada Mertua di Rumahku mengisahkan pasangan yang mau ijab kabul, Irfan dan Nirmala. Menjelang pernikahan datanglah lelaki tua bernama Bambang mengiba pada Nirmala agar diterima Nirmala lagi sebagai bapaknya. Bambang itu memang bapak kandungnya Nirmala, tapi sudah sukses jadi bapak paling menyebalkan sedunia! Bambang itu orangnya mager (males gerak), bikin sebel.

Puncak kemarahannya Nirmala adalah, sebulan setelah ibunya meninggal, Bambang menjual rumah yang dibeli pake duit almarhum ibunya. Kala itu Nirmala dan Bambang perang mulut. Setelah hasil penjualan rumah sudah habis nggak tau buat apa, alhasil Bambang datang ke rumah Nirmala, yang menurut Bambang, dialah anak yang paling baik. Dengan terpaksa Bambang diterima tinggal di rumah Nirmala yang masih ngontrak.

Setelah Irfan dan Nirmala jadi suami-istri, maka keduanya tinggal di rumah Irfan. Bambang disuruh tinggal di kontrakan Nirmala, nanti bulanannya akan dikasih Nirmala. Sayangnya, Bambang bikin geregetan dia diusir dari kontrakan dan ingin tinggal bersama dengan Irfan dan Nirmala.

Rano Karno (Foto: Savic Rabos, DI: Raga/VOI)

Menurut Rano, cerita Ada Mertua di Rumahku ini menarik dan berbeda dari film yang pernah dilakoninya. "Pertama saya tertarik dengan ceritanya itu. Kemudian saat reading, kita bertemu. yang tidak jelas karakternya si skenario saya tanyakan, ini karakter mertuanya orang mana? orang lebih tahu saya ini Betawi. kemudian anak saya Cut kan orang Aceh. Saya tanya, kita darimana? Kalau kita tahu kultur kita akan tahu bagaimana mengisi karakternya," katanya.

Sutradara filmnya memberi penjelasan sesuai dengan nama karakternya, Bambang, maka Rano akan berperan sebagai mertua dari Jawa. "Jawanya mana? Surabaya. Kebetulan memang waktu saya baca, ini komedi situasi. Jadi gaya saya jadi Srimulat. Waktu itu saya sedang gemuk-gemuknya. Jadi saya tampil dengan topi tanpa mengurangi berat badan, sudah jadi Bambang," kenangnya.

Pertama kali beradu peran dengan Roger Danuarta dan Cut Meyriska, Rano mengaku tertantang. Sebagai pemain watak, bertemu pemeran baru akan membentuk karakter baru.

"Itu salah satu tantangan saya ya. Saya juga termasuk memilih cerita, cuma kalau saya nggak suka ya nggak suka. Kebetulan pas ditawari cerita ini saya suka. Nah pas ditawari saya dikasih tahu lawan mainnya Roger Danuarta dan Cut Meyriska, kebetulan saya tahu sekali kisah cinta mereka ini. Jadi saya bercandain, ini kisah nyata mereka ya?" paparnya.

Menurutnya, Roger Danuarta dan Cut Meyriska adalah aktor yang baik. "Jujur ini saya ketemu mereka pertama kali di cerita ini. Cuma sedikit banyak saya tahu mereka, bagaimana mereka berumahtangga. Jadi sangat mudah untuk mengisi ceritanya," kata Rano Karno.

SELAMAT TINGGAL SI DOEL

Rano Karno (Foto: Savic Rabos, DI: Raga/VOI)

Bukan cuma film Ada Mertua di Rumahku, Rano Karno telah menyelesaikan syuting film Pelangi Tanpa Warna yang akan tayang di bioskop 3 Februari. Lagi-lagi, Rano sudah keluar dari karakter Si Doel.

Bedanya, kali ini dia dipasangkan dengan Maudy Koesnady yang menjadi istrinya. Keluar dari zona nyaman, meski kembali dipasangkan, Rano Karno dan Maudy Koesnaedi tidak lagi memerankan tokoh Si Doel dan Zaenab.

Film ini sendiri menceritakan tentang sosok Fedi (Rano Karno), yang rancangan indah dalam pernikahannya hancur karena sang istri mengidap Alzheimer. Dari hari ke hari, Kirana (Maudy Koesnaedi) terus melupakan semua hal sederhana hingga paling penting dalam hidupnya.

Situasi berubah menjadi penuh emosi hingga membuat ketenangan di rumah seolah menghilang, lalu berganti dengan kesedihan yang tak berkesudahan. Fedi terus diuji dengan kondisi Kirana yang semakin hari semakin menurun. Tugas rumah tangga yang awalnya dipegang sang istri, kini dibebankan penuh padanya.

Bagaimana perasaan Rano Karno setelah melepas Si Doel sepenuhnya? "Sebetulnya, saya tidak ingin menyebut judul. Sebetulnya saya pernah main sinetron bukan sebagai Si Doel, tapi masih kultur Betawi. Ini memang agak berbeda, ceritanya sudah tidak berperan sebagai Si Doel yang siem, cool, dan segala macem," terangnya.

Perbedaan peran yang signifikan dari Si Doel, membuat Rano Karno bersedia untuk main film tersebut. "Justru itu yang membuat saya tertarik. Saya bisa keluar dari karakter Si Doel dengan tokoh ini. Cukup komplit dengan karakter yang saya mainkan," jelasnya.

Rano Karno (Foto: Savic Rabos, DI: Raga/VOI)

Sebelum memutuskan bergabung dalam sebuah cerita film, Rano mempertimbangkan benar karakter yang akan dijalaninya. "Pertama, saya baca tokoh itu cocok nggak dengan diri saya. saya sudah 61 tahun. Nggak mungkin saya jadi tokoh remaja. Kalau misalnya saya terima tokoh sebagai anak SMA saya tidak mau. Makanya saya tidak takut untuk tampil gemuk dan apa adanya," tegasnya.

"Dari mulai saya baca ceritanya, saya sudah tahu bagaimana mengisi karakternya. Kemudian saat reading saya menegaskan tidak ikut campur proses kreatif. Tapi sebagai pemain saya berhak tanya, karakternya ini pakai kultur mana?" lanjutnya.

Tak bisa dipungkiri wibawa Rano Karno sebagai sutradara, membuat sutradara yang mengarahkannya sedikit minder. Rano mengaku sering ditanya sutradara yang mengarahkan perannya.

"Saya sering ditanya, 'Om gimana sudah ok belum?'. Saya bilang saya nggak mau ikut campur. Urusan kamu jangan tanya saya. Saya ikut sutradara. Pada posisi tertentu saya harus menghargai job discription masing-masing," tegasnya.

Rano Karno (Foto: Savic Rabos, DI: Raga/VOI)

Mengantongi 88 judul dalam filmografi sejak tahun 1971 jelas bukan karir main-main. 6 Piala Citra dari FFI adalah bukti keseriusan akting Rano Karno. Masih ditambah dengan 10 judul sinetron yang dibintanginya, Rano Karno adalah Legenda Hidup film Indonesia. Perubahan sistem syuting telah berganti berkali-kali, tapi Rano Karno tak tergantikan.

"Saya sangat beruntung mengalami fase-fase itu. Dan yang sangat malang, anak-anak sekarang tidak ada dalam fase itu. Apa akibatnya? Mereka cepat hilang. Kita nggak bisa melihat bintang di televisi itu lebih dari dua tahun. Dia cantik, dia cakep tapi dia tidak bisa mengerti apa itu seni peran?" paparnya.

Berdasarkan pengalaman pribadi, Rano pernah ditanya aktor muda yang mempertanyakan tujuan belajar akting. "Saya ditanya buat apa sih belajar akting lagi? Nggak belajar akting saja sudah terkenal? Saya sedih melihatnya. Setiap bintang ini nggak bisa bertahan dua tahun, saya gelisah," katanya.

"Saya melalui fase sulit sekali untuk membuat film. Bagaimana film dibuat dengan seluloid dibuat dengan teknologi sangat sederhana, tapi modern pada waktu itu. Sutradara tidak pernah memberikan rasio syuting 1:3. Artinya apa? Kita nggak boleh retake lebih dari tiga kali. Karena bahan bakunya mahal. Sehingga dibutuhkan latihan yang kuat. Maaf, pemain dulu itu suka berlatih. Satu adegan bisa berlatih sepuluh kali," tegasnya.

>

"Sekarang kita syuting bisa lihat monitor, pakai hp aja bisa. Jadi sebagai pemain harus tahu, ini size kamera apa? Jadi ruang gerak kita tahu. Misalnya ada pemain yang diminta close up, dia gerak terus aja kepala kayak orang mabok. Dulu kita harus tahu tentang itu. Yang sangat malah, teknologi sekarang itu jauh lebih maju dari dulu. Tapi konten dianggap tidak penting," lanjutnya.

Padahal, menurut Rano Karno, konten tidak akan berubah meskipun teknologi berubah. Melalui OTT, potensi film Indonesia bisa mendunia dengan lebih cepat.

"Saya tahu secara mendengar, tapi tidak tahu secara data tentang serial Indonesia yang mendunia. Apakah penonton dunia melihat atau masyarakat Indonesia di luar yang melihat. Tapi terakhir saya dengar Layangan Putus ditonton 15 juta kali dalam sekali tayang. Wow, saya bangga sekali," katanya.

Rano Karno berharap industri kreatif berkembang di Indonesia dengan baik. "Ini konten ya, orang luar kalau mau lihat film Indonesia mereka lihat culture-nya. Bukan gaya hidupnya. Kalau gaya hidup dari seperti orang luar, di luar jauh lebih bagus. Tapi kalau dikasih culture yang lebih kuat yakin saya akan berkembang," tegasnya.

"Kimchi, itu culture Korea Selatan. Di setiap film dan drama ada kimchi. Namun di film Indonesia, kita belum berani membuat deklarasi apa itu Indonesia? Kalau bicara Korea, pemerintahnya mendukung, makanya ada Kpop. Indonesia belum, makanya perlu sinergi antara pemerintah," jelas Rano Karno.