Efek Domino dari Resesi, Bamsoet: Pemerintah Jangan Lambat Mengantisipasi
JAKARTA - Ketua MPR RI Bambang Soesatyo (Bamsoet) meminta pemerintah untuk segera mengantisipasi ancaman resesi ekonomi yang ditimbulkan akibat pandemi COVID-19. Jika tak segera diatasi, maka efek dominonya akan terasa di berbagai sektor.
Bamsoet mengatakan, dampak resesi akibat pandemi semakin tak terhindarkan. Salah satu efek domino yang akan dirasakan akibat resesi adalah macetnya kredit perbankan. Ini artinya, rasio kredit bermasalah (non performing loan/NPL) berpotensi meningkat tajam.
Tidak hanya itu, kata Bamsoet, efek lainnya adalah lonjakan inflasi yang sulit dikendalikan atau bahkan deflasi yang tajam karena ekonomi tak bergerak.
"Kemudian, neraca perdagangan akan menjadi minus dan berimbas langsung pada cadangan devisa," ujarnya dalam pidato sidang tahunan MPR Tahun 2020 dalam rangka laporan kinerja lembaga-lembaga negara di Gedung DPR/MPR RI, Jakarta, Jumat, 14 Agustus.
Sementara dari sisi pemerintah, Bamsoet mengingatkan, akan ada bahaya dari tingginya utang pemerintah bersamaan dengan penerimaan pajak yang anjlok.
Menurut Bamsoet, dalam skala riil dampak resesi terhadap suatu negara adalah peningkatan pengangguran, anjloknya pendapatan, meningkatnya angka kemiskinan, dan merosotnya harga aset. Jenis aset yang dimaksud, adalah pasar saham dan properti.
"Lalu, melebarnya angka ketimpangan, tingginya utang pemerintah bersamaan dengan penerimaan pajak yang anjlok, serta produksi yang hilang secara permanen, dan bisnis gulung tikar," ucapnya.
MPR, kata Bamsoet, mendukung langkah pemerintah yang saat ini telah berupaya melakukan pemulihan ekonomi. Termasuk di dalamnya pembentukan Komite Penanganan COVID-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional.
"Mendorong pemerintah mempersiapkan sejumlah langkah dan strategi untuk mencegah terjadinya efek domino akibat COVID-19," tuturnya.
Baca juga:
Bamsoet juga meminta pemerintah memperhatikan peringatan lembaga pangan dunia atau Food and Agricultural Organization (FAO). Bamsoet mengatakan, pandemi COVID-19 juga membayangi potensi krisis pangan sehingga pemerintah perlu mengantisipasi politik pangan yang memaksa setiap negara memprioritaskan kebutuhan domestiknya lebih dulu.
Pemerintah, kata Bamsoet, harus betul-betul menyiapkan produksi dalam negeri yang menjadi tumpuan utama. Terutama memastikan petani memiliki bantuan yang mereka perlukan untuk meningkatkan kinerja produksinya.
"Fasilitas produksi, seperti mesin dan peralatan pertanian, subsidi pupuk dan benih, serta fasilitas pendukung produksi lainnya, perlu menjadi prioritas bagi peningkatan produksi dalam negeri. Mengingat 93 persen mayoritas petani Indonesia adalah petani kecil, maka fasilitas dan bantuan sangat dibutuhkan agar mereka terbantu untuk meningkatkan kinerja produksinya," katanya.
Seperti diketahui, ekonomi Indonesia ambruk hingga minus 5,32 persen pada kuartal II 2020. Angkanya berbanding terbalik dari kuartal I 2020 yang masih positif meski anjlok sebesar 2,97 persen.
Seluruh komponen berdasarkan pengeluaran pun terkontraksi. Konsumsi rumah tangga tercatat minus 5,51 persen, investasi minus 8,61 persen, ekspor minus 11,66 persen, konsumsi pemerintah 6,9 persen, konsumsi Lembaga Non-Profit yang Melayani Rumah Tangga (LNPRT) minus 7,76 persen, dan impor minus 16,96 persen.