Olvah ke China, China ke Olvah: Rasisme Lahirkan Rasisme

JAKARTA - Mantan finalis Puteri Indonesia, Olvah Hamid dikritik karena sikap rasisnya terhadap sejumlah warga negara China di Bandara Soekarno-Hatta, Tangerang, Banten. Dalam klarifikasinya Olvah mengakui dendam terpendam karena pernah diperlakukan rasis juga oleh etnis China. Rasisme melahirkan rasisme.

Kritik terhadap Olvah dipicu oleh sebuah video yang ia unggah di Instagram Storynya. Dalam video itu Olvah mengatakan tengah berada di Bandara Soekarno Hatta. Di sekeliling Olvah saat itu terdapat sejumlah orang diduga warga negara China yang juga baru turun dari pesawat.

"Ini orang-orang ini nih orang-orang China semua. Mereka takut, lho. Takut sama kita. Padahal mereka yang bawa penyakit ke Indonesia. Hey China-China. Hey, ho.. ha.. ho."

Olvah panen kritik. Bukan hanya sikapnya yang memang pada dasarnya salah tapi juga karena persona Olvah yang selama ini kerap bersuara antirasisme.

Lingkaran setan rasisme

Yang Olvah lakukan bukan perkara kecil. Tapi ia adalah bagian kecil dari lingkaran setan rasisme. Sosiolog Universitas Negeri Jakarta (UNJ), Achmad Siswanto menjelaskan ada konteks historis yang harus dilihat dalam lahir dan bertumbuhnya rasisme di Indonesia.

Semua berawal sejak zaman kolonial. Pada masa itu Belanda menyusun sistem stratifikasi sosial di dalam masyarakat. Masyarakat dibagi ke dalam tiga strata kelas.

Teratas, golongan Eropa, yaitu orang-orang Belanda. Menyusul, Timur Asing, yang adalah orang-orang Arab dan China. Sebagai masyarakat paling rendah adalah pribumi. 

Guru besar ilmu antropologi Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada (FIB UGM), Heddy Shri Ahimsa-Putra menjelaskan konteks lain. Menurut dia dasar rasisme juga disebabkan oleh perbedaan biologis.

“Setiap manusia sebetulnya pasti membedakan satu sama lain berdasarkan ciri fisik. Klasifikasi terhadap manusia, semua orang pasti melakukannya." kata dia, dikutip Kompas.com.

"Tapi ketika satu ras dianggap lebih tinggi derajatnya, dianggap lebih baik, itu namanya rasisme. Secara pengalaman manusia, rasisme terburuk adalah zaman Nazi terhadap Yahudi,” tambahnya.

Ilustrasi foto (Jon Tyson/Unsplash)

Hal menarik dari kasus Olvah timbul di dalam klarifikasinya. Olvah mengungkap selama di pesawat ia merasa diperlakukan tak enak oleh orang-orang China yang ia tunjuk dalam video.

Olvah melanjutkan penuturannya dengan menceritakan kisah-kisah lampau yang menggambarkan pengalaman tak enak antara dirinya dan segelintir orang dari etnis China. Kejadian-kejadian itu terjadi selama tiga tahun ketika Olvah tinggal di Surabaya.

"Dari ras tertentu di Indonesia, khusunya, ras China, saya dan orang tua pernah diludahi saat berada di mal," tutur Olvah.

Olvah juga menceritakan pengalamannya jadi korban rasisme ketika di Jakarta. Olvah yang berasal dari Papua Barat pernah dihina dengan sebutan monyet.

"Itu memberikan luka tersendiri kepada saya," kata Olvah.

>

Tentu saja rasisme Olvah tak bisa dibenarkan. Tapi, lagi-lagi, rasisme memang seperti itu. Ia adalah lingkaran setan yang tak akan ada habisnya. Dalam kajian sosiologi mikro, kita dapat melihat ini sebagai interaksi sosial. Ada tindakan dan response di dalamnya.

Itu satu. Variabel lain yang memengaruhi langgengnya rasisme adalah prasangka. Menurut Siswanto, setiap kelompok, termasuk golongan etnis memiliki prasangka-prasangka terhadap kelompok lain. Ini terjadi secara alami dalam perkembangan rasisme secara sosial.

Orang-orang seperti Olvah terjebak dalam prasangka ini. "Artinya ketika dia (Olvah) pernah mengalami satu bentuk rasisme, dia akan merespons kan," tutur Siswanto.

"Dia pasti akan merespons dengan prasangka-prasangka yang dimunculkan, yang sudah tumbuh tadi. Dia tidak punya referensi lain. Dia akan mengklaim, ya China itu begitu."

Ini kerja berat.  Menurut Siswanto harus ada pendekatan edukatif yang terstruktur dan sistematis, misalnya lewat lembaga pendidikan untuk melawan perilaku rasisme ini. Materi-materi pendidikan formal harus mengangkat kembali nilai kesatuan yang diamanatkan para pendiri negara.

Bhinneka Tunggal Ika betul-betul harus ditanamkan hingga jadi praktik kehidupan sosial. "Harus ada satu pendekatan edukatif melalui lembaga pendidikan, penguatan materi-materi yang mampu meminimalisir rasisme, baik kelompok etnis atau agama."

"Kita itu kan hadir tidak dalam satu etnis atau satu agama tapi multi agama dan multi etnis yang membangun Indonesia itu sendiri."

*Baca Informasi lain soal BERITA NASIONAL atau baca tulisan menarik lain dari Yudhistira Mahabharata.

BERNAS Lainnya