100 Hari Taliban, Pedoman Baru Dikeluhkan Semakin Membatasi Hak dan Kebebasan Wanita Afghanistan

JAKARTA - Wartawan dan aktivis Afghanistan telah menyatakan keprihatinan atas 'pedoman agama' baru yang dikeluarkan oleh penguasa Taliban, dengan mengatakan langkah itu adalah bentuk lain dari kontrol atas perempuan.

Taliban, yang mengambil alih Afghanistan sekitar 100 hari yang lalu, pada Hari Minggu mendesak jurnalis wanita untuk mengikuti aturan berpakaian dan meminta stasiun TV untuk berhenti menayangkan sinetron yang menampilkan wanita, memicu kekhawatiran atas hak-hak perempuan dan kebebasan media.

Akif Muhajir, juru bicara Kementerian Promosi Kebajikan dan Pencegahan Kejahatan, mengatakan "ini bukan aturan tetapi pedoman agama".

Namun, para aktivis khawatir itu bisa disalahgunakan untuk melecehkan jurnalis perempuan, banyak dari mereka telah meninggalkan negara itu setelah pengambilalihan Taliban pada 15 Agustus.

Taliban telah dituduh mengingkari janjinya untuk melindungi hak-hak perempuan dan kebebasan media. Langkah terbaru, yang menyerukan perempuan untuk mengenakan jilbab saat menyajikan laporan mereka, tidak menentukan jenis penutup yang digunakan.

Pembatasan tersebut, serta pengetatan kontrol pada pelaporan berita, telah dilakukan untuk menjaga “kepentingan nasional”, menurut kelompok tersebut.

Zahra Nabi, seorang jurnalis siaran yang ikut mendirikan saluran televisi wanita, mengatakan dia merasa terpojok ketika Taliban kembali berkuasa, dan memilih untuk tidak mengudara pada hari yang sama.

"Semua media berada di bawah kendali (Taliban) mereka," ujar Nabi yang mendirikan Baano TV pada tahun 2017 kepada Al Jazeera, seperti dikutip 26 November.

Jaringan TV yang pernah dijalankan oleh 50 wanita itu menjadi simbol seberapa jauh kemajuan wanita Afghanistan sejak pertama kali Taliban berkuasa pada 1990-an.

Ilustrasi wanita Afghanistan. (Wikimedia Commons/The White House/Eric Draper)

Dengan sebagian besar anggota awak jaringan sekarang pergi, Nabi tetap bersikeras melakukan pekerjaannya, dan seperti banyak jurnalis mapan lainnya di Afghanistan, dia harus bekerja di bawah radar.

"Kami bekerja di lingkungan yang sangat keras, dan bahkan mengumpulkan laporan di bawah burqa," ujar Nabi, mengacu pada pakaian luar yang dikenakan untuk menutupi seluruh tubuh dan wajah yang digunakan oleh beberapa wanita Muslim.

"Sangat sulit bagi jurnalis perempuan," lanjutnya, mengutip contoh baru-baru ini di mana dia harus memasuki kota Kunduz sebagai pekerja kemanusiaan, dan bukan sebagai jurnalis.

“Saya tidak menunjukkan diri saya sebagai jurnalis. Saya harus mengatur dengan perempuan lokal ruang kantor yang aman untuk bekerja,” kata Nabi.

Sekarang setelah Baano TV tidak mengudara, wanita berusia 34 tahun itu mengatakan dia mencoba mencari cara lain untuk menampilkan laporannya, mungkin melalui platform media sosial, atau melalui penyiar di luar negeri.

Mengomentari langkah tersebut, Human Rights Watch (HRW) mengatakan pada Hari Senin, pedoman ketat yang baru terutama akan merugikan perempuan.

"Peraturan media baru Taliban dan ancaman terhadap jurnalis mencerminkan upaya yang lebih luas untuk membungkam semua kritik terhadap pemerintahan Taliban," kata Patricia Gossman, direktur asosiasi Asia di HRW.

"Hilangnya ruang untuk perbedaan pendapat dan pembatasan yang memburuk bagi perempuan di media dan seni sangat menghancurkan."

Sementara itu, Sonia Ahmadyar, seorang jurnalis yang kehilangan pekerjaannya pada Bulan Agustus mengatakan, Taliban telah bergerak untuk perlahan-lahan 'membungkam media'.

"Hari demi hari, Taliban telah menempatkan pembatasan pada wanita “untuk tidak membiarkan mereka aktif. Perempuan benar-benar merasa putus asa untuk tampil di TV," tutur Ahmadyar, seraya menambahkan bahwa kelompok tersebut telah merampas “kebebasan” mereka serta otonomi keuangan mereka.

Pria berusia 35 tahun itu meminta Taliban untuk mengizinkan jurnalis perempuan untuk kembali bekerja "tanpa dilecehkan" sesegera mungkin.

"Ini adalah hak paling dasar mereka, karena itu penting untuk mata pencaharian mereka, dan karena ketidakhadiran mereka dari lanskap media akan berdampak membungkam semua perempuan Afghanistan," tandasnya.

Sebelumnya, Taliban menetapkan bahwa media swasta dapat beroperasi secara bebas selama tidak bertentangan dengan nilai-nilai Islam. Dalam beberapa hari setelah berkuasa, kelompok itu mengatakan bahwa pemerintah akan dipandu oleh hukum Islam.

Tetapi, para jurnalis dan aktivis hak asasi manusia telah mengkritik pedoman itu sebagai tidak jelas, dengan mengatakan bahwa pedoman itu dapat ditafsirkan.

Masih belum jelas apakah mengudara tanpa hijab atau menayangkan drama asing yang menampilkan wanita, akan menarik pengawasan hukum.

Ilustrasi wanita Afghanistan. (Wikimedia Commons/ninara)

Ketika ditanya apakah menghindari pedoman akan dihukum oleh hukum, Muhajir dari Kementerian Promosi Kebajikan dan Pencegahan Kejahatan mengatakan, warga wajib untuk mematuhi pedoman, tanpa menjelaskan lebih lanjut.

Menurut Heather Barr, co-director divisi Hak Perempuan HRW, arahan Taliban hanyalah langkah terbaru oleh kelompok itu untuk “menghapus perempuan dari kehidupan publik”.

Langkah itu dilakukan setelah kelompok itu mengecualikan perempuan dari peran senior di pemerintahan, menghapus kementerian perempuan, olahraga perempuan, dan sistem yang dibentuk untuk menanggapi kekerasan berbasis gender, tukasnya.

Meskipun sebagian besar wanita Afghanistan menutupi kepala mereka, beberapa tidak. Tetapi apakah mereka melakukannya atau tidak – “penting bahwa itu adalah pilihan mereka,” kata Barr.

Shaqaiq Hakimi, seorang aktivis muda Afghanistan, setuju. "Tuhan memberi kita, hak untuk memutuskan. Jadi itu seharusnya bukan sesuatu yang dipaksakan, tetapi keputusan (perempuan) mereka sendiri," ucapnya.

Karena pedoman tersebut tidak merinci jenis penutup kepala yang diharapkan dikenakan oleh wanita, para pejabat Taliban akan merasa "diberdayakan untuk menentukan jilbab apa yang dapat dan tidak dapat diterima," imbuh Barr, membuat wanita rentan untuk dihentikan dan dilecehkan di jalanan.

Untuk diketahui, konsekuensi dari pemolisian semacam itu akan memaksa wanita profesional untuk terus-menerus bertanya-tanya apakah jilbab mereka sesuai dengan standar Taliban.

Ini akan memiliki efek "sangat mengerikan" pada kemampuan mereka untuk melakukan pekerjaan mereka, menurut Barr. Tapi, wanita seperti Nabi mengatakan pembatasan tidak akan menghalangi dia untuk melakukan pekerjaannya.

"Kami bekerja, kami tidak akan berhenti, dan kami akan melanjutkan apa yang kami lakukan. Itu rencana kita," tegasnya.

Hakimi menggemakan sentimen Nabi, mengatakan jika wanita berhenti memperjuangkan hak-hak mereka, "tidak ada yang akan memberikannya kepada kita."