Pak Harto Doyan Lawakan Bang Ben

JAKARTA - Lawakan khas seniman legendaris Betawi, Benyamin Sueb sulit dilupakan. Bang Ben tak cuma mengandalkan kejenakaan dan gaya nyentrik. Tiap humornya kerap terselubung kritik sosial. Problema Jakarta hingga Orde Baru. Penggemarnya beragam. Dari jelata sampai pejabat. Bahkan Presiden Soeharto dan sang istri, Siti Hartinah alias Bu Tien.

Soeharto pernah menantang Benyamin melawak di TMII. Bang Ben tak gentar. Ia tampil apa adanya. Penampilan itu membuat Soeharto kedoyanan lawakan Benyamin. Benyamin adalah seniman komplet yang pernah ada. Selain melawak, ia dikenal dengan beragam citra lain, mulai dari musisi, aktor hingga sutradara.

Produktivitasnya dalam berkarya tiada dua. Ia telah menelurkan kurang lebih 73 album musik, yang gilanya beragam genre. Namun satu hal yang membuat musiknya langgeng dikenang luas adalah kejeliannya memasukkan sentuhan gambang kromong khas Betawi sebagai identitas dalam tiap lagunya.

Di belantika perfilman Tanah Air pun begitu. Ia telah menancapkan kukunya sebagai aktor sekaligus sutradara ternama dengan membuahkan lebih dari 53 judul film. Kemampuannya sebagai publik figur jempolan jadi semakin meyakinkan. Sentuhan kultur Betawi yang menjunjung tinggi kejenakaan jadi rahasianya.

Budayawan Betawi, Masykur Isnan mengamini hal itu. Berbekal kultur Betawi, kemampuan Benyamin dalam melawak makin terasah. Apa saja dapat dijadikannya sebagai bahan bakar orang tertawa lepas. Ya, meski isi lawakannya murni kritikan. Dari hajat hidup orang Betawi di Jakarta hingga kinerja pemerintahan Orba.

“Kemampuan melawaknya sedikit banyak dipengaruhi dari kultur tanah kelahiran Bang Ben: Betawi. Artinya menjadi anak Betawi sudah semestinya harus menikmati hidup. Yang berarti setiap masalah yang dihadapi dianggapnya sebagai komedi dalam kehidupan. Kasarnya orang Betawi sudah biasa dalam menertawakan kehidupan. Semangat itu yang diadopsi oleh Benyamin dalam tiap karyanya.”

Benyamin Sueb (Sumber: Wikimedia Commons)

“Sehingga tingkat kejenakaan Bang Ben terlihat natural. Tanpa dibuat-buat. Dia bicara apa saja bisa jadi lucu. Di situlah letak kegeniusan Bang Ben sebagai pelawak. Belum lagi tiap lawakannya selalu disusupi, kalau tidak pesan moral, ya kritik. Keberaniannya melempar kritik lewat komedi gak perlu diraguin. Kalau Bung Karno pernah kasih wejangan hidup harus ber-vivere pericoloso (hidup menyerempet bahaya), maka Bang Ben kudu ada di baris utama. Wajar jika kemudian Bang Ben disebut pelawak legendaris,” ungkap Masykur Isnan saat dihubungi VOI, 11 November.

Ambil contoh film yang pernah dibintanginya, Benyamin Tukang Ngibul (1975). Film karya Nawi Ismail itu dijadikan ladang berkreasi oleh Benyamin. Dalam film itu, Benyamin berkontribusi menciptakan satire terhadap pemerintah Orba.

Soal bagaimana di masa Orba tiap orang yang menyampaikan pendapat atau tidak sepaham dengan pemerintah, khususnya Soeharto akan berurusan dengan pihak berwajib. Benyamin dengan leluasa memerankan tokoh Benny sang tukang kibul.

Sosok Benny dianggap Bang Ben sebagai medium bersuara. Benny dikisahkan sebagai pemuda yang terpaksa harus terus ngibul supaya dapat bertahan di tengah ganasnya kehidupan Ibu Kota, Jakarta. Sosok Benny juga menggambarkan perbedaan mencolok antara si miskin dan si kaya.

“Benny hanya salah satu kasus yang kita dapati dalam film Benyamin Tukang Ngibul yang pekerjaannya memang penuh dengan tipu-menipu. Benny hanya sebuah kasus yang lambat-laun menjadi sebuah fenomena bahwa dalam kehidupan kita sehari-hari penuh dengan tipu-menipu. Sebagian besar orang di negara ini seperti sudah menganggap biasa 'ngibul' sehingga tidak ada sama sekali perasaan bérsalah atau berdosa untuk melakukannya.”

“Coba tengok para pemimpin kita yang demikian entengnya 'ngibul' di hadapan rakyatnya tentang capaian-capaian baik di level daerah maupun nasional, tetapi ada sesuatu yang paradoks dalam kehidupan sehari-hari, semakin menganganya jurang pemisah antara orang yang kaya dan miskin,” terang Subagio S. Waluyo dalam buku Menatap Bangsa Hoax: Sebuah Catatan Penegakan Good Governance (2019).

Melawak di depan Soeharto dan Ibu Tien

Soeharto dan Bu Tien (Sumber: Wikimedia Commons)

Gaya melawak yang apa adanya membuat Benyamin naik daun. Di matanya tiada hal yang tabu. Semua didobrak. Karenanya pula bahasa Betawi digemari hingga pelosok negeri. Peminatnya bertambah. Begitu pula penggemarnya. Tak terkecuali Ibu Tien. Istri dari pemimpin Orba, Soeharto.

Bu Tien begitu mengidolakan lawakan-lawakan khas Benyamin. Lebih lagi, saat Sinetron Si Doel Anak Sekolahan (1994) mulai tayang perdana di salah satu stasiun televisi Tanah Air. Kepopuleran tokoh Babe Sabeni yang diperankan oleh Benyamin turut pula mengangkat nama populer lain, seperti Mandra (Mandra Naih), Atun (Suti Karno), serta Rano Karno (Si Doel).

Ibu Tien kemudian memiliki niatan untuk menyaksikan langsung aksi lawakan keempatnya di atas panggung. Soeharto lalu bergerak meminta orang kepercayaannya mengundang keempat orang dari 'keluarga Si Doel' untuk melawak di Taman Mini Indonesia Indah (TMII) pada medio 1990-an.

Undangan itu langsung disambut. Benyamin, terutama tahu betul melawak di depan Soeharto dan Ibu Tien bukan perkara mudah. Imej Soeharto yang antikritik jadi muaranya. Konon tiap pelawak yang diundang Soeharto hampir pasti tidak ada yang lucu. Bahkan hal itu berkali-kali diungkapkan oleh teman sekaligus sahabat Benyamin, Mandra.

“Di depan Ibu Tien, di depan Pak Harto, gak ada yang lucu dah. Lu perhatiin dah siapa kek pelawak (pasti) ga lucu, gue berani taruhan. Bagaimana ga mau tegang. Dua bulan dari hari sebelum kita main, dari pertama kita di-booking sampai hari berikutnya itu, kita kagak pernah lepas dua hari sekali didatengin (Paspamres).”

“Nanti ngomongnya begini, gak boleh begini, itu pelawak cepirit bisa. Bagaimana mau melawak ayo, dari pertama (latihan) ga boleh ngomong gini, gak begini, gak begini. Makin lama, makin dekat didatangin dari sini, dari sana, kasih tahu protokolernya apa. Nah kita belum ngapa-ngapain,” cerita Mandra dalam tayangan di kanal Youtubenya berjudul Dipanggil RI 1: Cerita Babe Benyamin S.

Benyamin Sueb (Sumber: Perpusnas)

Segala urusan protokoler buat keluarga Si Doel tak merasa bebas berekspresi. Terlebih lagi bagi Benyamin dan Mandra yang notabene hidup dan besar dari melawak. Perihal protokoler yang memusingkan itu bukan cuma perihal kata-kata yang dibatasi. Musik latar pun ikut-ikutan diatur supaya tidak terlalu keras. Takut Ibu Tien kena serangan jantung, katanya.

Benyamin memilih pembangkangan. Ia memilih tampil apa adanya untuk acara yang berlangsung di Gedung Sasono Langeng Budoyo, TMII. Mandra pun sepakat dengan keputusan Bang Ben. Perihal nanti lawakan mereka menimbulkan masalah, itu urusan belakangan.

Sebab, yang terpenting adalah melakukan sesuatu yang sesuai hati nurani. Pun kritikan terhadap masalah sosial tak lupa diselipkan dalam lawakannya. Sekalipun tiap lawakan yang diolah di atas panggung diikuti oleh mata Paspamres yang tak bersahabat kepada keempatnya.

Lawakan-lawakan yang dimainkan oleh Benyamin nyatanya bisa diterima oleh para tamu undangan. Gema tawa terus muncul dari tribun penonton. Soeharto dan Ibu Tien turut tertawa. Mereka senang bukan main menyaksikan aksi komedi keluarga Si Doel.

Benyamin mulai berimprovisasi untuk mencairkan suasana. Ia mencoba menjajal bakatnya bersenandung lagu Ngarak Ondel-Ondel (1971). Tanpa pikir panjang Benyamin memberikan mikrofon pada Ibu Tien untuk mengucapkan penggalan lirik: Nyok.

Keterlibatan Ibu Tien dalam bernyanyi bersama Benyamin semakin menyemarakkan seisi Sasono Langeng Budoyo. Aksi keluarga Si Doel pun pecah.

“Orba sampai begitu. Artinya sampai punya pengalaman itu di panggung. Pantes dalam hati kita kalau pelawak mana aja. Penyanyi di mana aja. Di depan dia (Soeharto dan Ibu Tien) kalau kata gue ya boleh dah lu mengaku sombong di luar, tuh kalau di situ (melawak di depan presiden), belum mentas aja, udah ditatar terus. Lah kita ngomong apa. Pelawak aja tetap kagak lucu. Mau siapa aja melawak sudah ketakutan duluan,” tutup Mandra.

*Baca Informasi lain soal ORDE BARU atau baca tulisan menarik lain dari Detha Arya Tifada.

MEMORI Lainnya