Konflik Ethiopia: 16 Stafnya Ditahan, Utusan Khusus PBB Pastikan Upaya Pembebasan

JAKARTA - Sedikitnya 16 staf dan pendukung PBB telah ditahan di ibu kota Ethiopia, Addis Ababa, kata juru bicara PBB pada Selasa, di tengah laporan penangkapan yang meluas terhadap etnis Tigrayan.

"Kami, tentu saja, secara aktif bekerja dengan pemerintah Ethiopia untuk memastikan pembebasan segera mereka," ujar juru bicara PBB Stephane Dujarric kepada wartawan di New York, mengutip Reuters 10 November.

Dia menolak menjawab pertanyaan tentang etnis mereka yang ditahan, dengan mengatakan: "Ini adalah anggota staf PBB, mereka orang Etiopia. Dan kami ingin mereka dibebaskan, etnis apa pun yang tercantum di kartu identitas mereka."

Komisi Hak Asasi Manusia Ethiopia yang ditunjuk negara mengatakan pada Hari Minggu, mereka telah menerima banyak laporan penangkapan Tigrayan di ibukota, termasuk orang tua dan ibu dengan anak-anak.

Daniel Bekele, kepala komisi, mengatakan kepada Reuters pada Hari Selasa, mereka sedang memantau "penangkapan ratusan orang Tigrayan di Addis Ababa".

Sementara, Polisi membantah melakukan penangkapan bermotif etnis, dengan mengatakan mereka hanya menargetkan pendukung pemberontak pasukan Tigrayan yang melawan pemerintah pusat.

Fasika Fanta, juru bicara polisi Addis Ababa, dan juru bicara pemerintah Legesse Tulu mengatakan, mereka tidak memiliki informasi tentang penangkapan staf PBB.

"Mereka yang ditahan adalah warga Etiopia yang melanggar hukum," ujar Legesse.

Terpisah, Departemen Luar Negeri AS mengatakan Washington menemukan laporan penangkapan anggota staf PBB 'mengkhawatirkan', menambahkan pelecehan dan penahanan atas dasar etnis sama sekali tidak dapat diterima.

"Laporan memang cenderung menyarankan penangkapan berdasarkan etnis dan itu adalah sesuatu yang jika dikonfirmasi, kami akan mengutuk keras. Jadi apa pun yang bisa kami lakukan untuk mengamankan pembebasan orang-orang ini, kami akan siap melakukannya," juru bicara Departemen Luar Negeri Ned Price mengatakan kepada wartawan.

Departemen Luar Negeri mengatakan, Washington yakin ada celah kecil untuk bekerja dengan Uni Afrika untuk membuat kemajuan dalam menyelesaikan konflik secara damai.

Utusan Khusus AS untuk Tanduk Afrika, Jeffrey Feltman, kembali ke Addis Ababa pada Senin dan tetap di Ethiopia, kata Price pada Selasa.

Juru bicara pemerintah Legesse dan juru bicara kementerian luar negeri Dina Mufti tidak segera menanggapi permintaan komentar atas pembicaraan tersebut.

Konflik selama setahun di Ethiopia utara antara pemerintah dan pasukan Tigrayan yang setia kepada Front Pembebasan Rakyat Tigray (TPLF), telah meningkat dalam beberapa pekan terakhir setelah dia mendorong TPLF ke selatan. Pasukan Tigrayan dan sekutu mereka mengancam akan berbaris di ibu kota.

Ethiopia mengumumkan keadaan darurat pada 2 November. Hal itu memungkinkan pemerintah untuk secara sewenang-wenang menangkap, tanpa perintah pengadilan, siapa pun yang dicurigai bekerja sama dengan kelompok teroris. Parlemen menetapkan TPLF sebagai kelompok teroris awal tahun ini.

Terkait dengan situasi yang terjadi, Inggris memperketat saran perjalanannya pada hari Selasa, menyarankan warga untuk meninggalkan Ethiopia sementara penerbangan komersial tersedia, setelah Amerika Serikat pada 5 November menyarankan semua warga untuk meninggalkan Ethiopia sesegera mungkin.

Zambia mengevakuasi staf yang tidak penting dari Ethiopia pada hari Selasa, kata kementerian luar negerinya.

Upaya diplomatik terus mencoba untuk meletakkan dasar bagi pembicaraan dan mencegah serangan terhadap ibukota Ethiopia, rumah bagi 5 juta orang.

"Posisi kami tetap bahwa tidak ada solusi militer untuk konflik ini dan hanya dialog yang dapat menghasilkan perdamaian abadi," kata Menteri Inggris untuk Afrika, Vicky Ford, kepada wartawan.

Sementara, mantan Presiden Nigeria Olusegun Obasanjo berada di Ethiopia atas nama Uni Afrika untuk mencoba memfasilitasi pembicaraan. Juru bicara TPLF, Getachew Reda mengatakan, mereka telah berdiskusi dengannya.

"Dia ingin tahu apakah kami yakin ada kemungkinan solusi politik untuk masalah ini. Kami menjawab ya," terangnya. Tapi, Getachew menambahkan, "kami tidak mau mundur karena pengepungan, karena blokade."

PBB menuduh pemerintah menjalankan blokade de facto yang mencegah bantuan kemanusiaan memasuki Tigray. Pemerintah telah membantah memblokir bantuan.

Getachew juga mengatakan, serangan udara pemerintah telah menewaskan puluhan orang di kota Chefa Robit dan telah terjadi serangan drone dan udara di Universitas Wollo di Dessie dan Kota Chifra di Afar.

Reuters tidak dapat mengkonfirmasi akunnya secara independen karena komunikasi ke area tersebut terputus. Sementara, juru bicara pemerintah dan militer tidak membalas telepon untuk meminta komentar.