Kinerja Menteri Buruk Hingga Isu Bisnis PCR, Jokowi Disarankan Segera Reshuffle Kabinetnya
JAKARTA - Presiden Joko Widodo (Jokowi) disarankan melakukan reshuffle terhadap menteri yang punya kinerja buruk dan kerap membuat gaduh. Sebab, ada beberapa menteri yang punya kategori demikian.
Hal ini disampaikan Pengamat komunikasi politik Universitas Esa Unggul, Jamiluddin Ritonga. Menurut dia, yang paling kentara adalah Menteri Agama Yaqut Cholil Coumas yang sempat mengeluarkan pernyataan kontroversi soal Kementerian Agama adalah hadiah negara untuk Nahdlatul Ulama (NU).
Kemudian, Menko Polhukam Mahfud MD yang mengusulkan hari pencoblosan Pemilu Serentak 2024 digelar pada 15 Mei, padahal KPU sebagai penyelenggara pemilu sudah merencanakan pada 21 Februari. Juga Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian yang terkesan lambat dalam menentukan keputusan dan koordinasi soal pemilu.
Terbaru, dua menteri Jokowi yakni Menko Maritim dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan dan Menteri BUMN Erick Tohir yang disebut-sebut terlibat dalam bisnis tes PCR. Belum lagi menteri-menteri yang tak perform dalam menjalankan tugas dari presiden.
Jamiluddin mengatakan, Jokowi memang bisa kapan saja melakukan reshuffle karena hal itu memang hak prerogatif presiden. Lazimnya, reshuffle kabinet dilakukan bila ada kinerja menteri atau wakil menteri yang dinilai buruk atau berulang membuat gaduh atau berhalangan tetap. Bisa juga karena koordinasi antar menteri dinilai sudah tidak dapat ditingkatkan.
"Kalau itu dasarnya, seharusnya kabinet Jokowi perlu direshuffle. Sebab, beberapa menteri kinerjanya memang relatif rendah dan beberapa menteri lainnya kerap membuat gaduh," ujar Jamiluddin di Jakarta, Kamis, 4 November.
Selain itu, lanjutnya, Jokowi juga paling banyak mengisi pos wakil menteri. Padahal, para wakil menteri ini terlihat tidak ada yang menonjol sehingga tidak memberi kontribusi peningkatan kinerja kementerian dimana ia ditugaskan.
"Karena itu, semu wakil menteri sebaiknya ditiadakan. Tugas dan fungsi wakil menteri dapat didistribusikan ke Sekjen dan Dirjen di setiap kementerian sehingga dapat menghemat APBN," kata Jamiluddin.
Menurutnya, menteri dan wakil menteri seperti itu dapat menurunkan kepercayaan masyarakat terhadap kabinet Jokowi. Kalau terus dibiarkan, kata Jamiludrin, maka akan berimbas kepada makin menurunnya kepercayaan masyarakat terhadap Jokowi.
"Kalau kepercayaan masyarakat turun, tentu dukungan terhadap kabinet Jokowi juga akan turun," tegasnya.
Baca juga:
- Penumpang di Bandara Ngurah Rai Bali Sudah Bisa Gunakan Tes Antigen
- Bansos Dikorupsi, Tes COVID-19 Dikapitalisasi: Apes Rakyat di Tangan Pejabat
- Teriak Minta Jokowi Mundur Usai Menterinya Diduga Bisnis PCR, Ferdinand ke Partai Ummat: Lolos Verifikasi Dulu!
- Luhut Disebut Ikut Menikmati Cuan Bisnis Tes PCR, Jubir: Beliau Justru Selalu Suarakan Harga Diturunkan
Jamiluddin mengatakan, tanpa dukungan masyarakat kabinet Jokowi dengan sendirinya akan sulit merealisasikan program-program kerjanya. Hal ini tentu akan berimplikasi pada tidak terwujudnya janji-janji politik Jokowi.
"Jadi, melihat realitas saat ini, kabinet Jokowi memang selayaknya di reshuffle. Masalahnya, apakah Jokowi punya nyali mereshuffle beberapa menteri dan semua wakil menteri?," sindir Jamiluddin.
Menurut Jamiluddin, keraguan itu lantaran Jokowi didukung oleh koalisi gemuk. Disatu sisi, setiap partai politik pendukung tentu tidak menghendaki menteri dan wakil menterinya di reshuffle. Sebab, mereka akan dengan mudah menarik dukungan yang dapat menggoyahkan kabinet Jokowi.
"Bahkan Jokowi tidak akan berani mereshuffle menteri dari PDIP meskipun kinerjanya dibawah standar. Sebab Jokowi hanya petugas partai," tandasnya.