Akui Kemendag Gagal Atasi Persoalan Minyak Goreng, Komisi VI Setuju M Lutfi Dicopot?
Foto: BPMI Setpres/Laily Rachev

Bagikan:

JAKARTA - Anggota Komisi VI DPR Achmad Baidowi merespons isu reshuffle kabinet yang isunya bakal dilakukan Presiden Joko Widodo pada Rabu, 15 Juni 2022 mendatang. Dia bicara persoalan di Kementerian Perdagangan.

Mulanya Baidowi sepakat dengan hasil survei yang menyatakan mayoritas publik setuju dengan reshuffle kabinet, khususnya di bidang ekonomi. Menurutnya, bidang ekonomi memang paling mudah untuk diukur sehingga diperlukan perbaikan.

"Contohnya, tingkat pertumbuhan ekonomi seperti apa, pengangguran seperti apa, kemiskinan seperti apa dan recovery seperti apa. Dan harus diketahui COVID-19 menghantam bidang ekonomi. Termasuk, minyak goreng," ujar Baidowi di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa, 14 Juni.

Sekretaris Fraksi PPP di DPR itu mengakui, semenjak Presiden Jokowi memerintahkan Menko Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Panjaitan (LBP) harga minyak goreng di pasaran sudah berangsur turun. Padahal, kata dia, Komisi VI DPR sampai beberapa memanggil Kementerian Perdagangan mengatasi persoalan tersebut.

"Minyak goreng sekarang sudah mulai berangsur turun. Dan kita di Komisi VI sudah beberapa kali rapat panggil Kementerian Perdagangan untuk mengatasi persoalan ini. Kita lihat kita tinjau dan perhatikan dalam seminggu ke depan harga migor stagnan atau alami penurunan secara bertahap dan sudah dilakukan. Dan Presiden menunjuk Pak LBP untuk mengatasi ini semua. Dan ternyata sudah mulai berangsur membaik harga minyak goreng," jelas pria yang akrab disapa Awiek ini.

Lantas apakah Presiden Jokowi harus mereshuffle Menteri Perdagangan M Lutfi?

Terkait hal tersebut, Awiek mengakui memang ada korelasi antara kegagalan kementerian perdagangan mengatasi persoalan minyak goreng dengan mengganti menterinya. Namun, Awiek menilai, reshuffle kabinet merupakan hak prerogatif Presiden Jokowi.

"Kalau dikaitkan ada juga, tapi kalau kemungkinan ternyata tidak ada ya apa boleh buat, wong hak prerogatif presiden," kata legislator PPP Dapil Jawa Timur itu.

"Namun, kita pastikan bahwa hanya presiden Jokowi lah yang mengetahui parameter dalam mengukur kinerja kabinetnya, khususnya bidang ekonomi," pungkasnya.

Sebelumnya, Lembaga survei Charta Politika merilis hasil survei nasional terkait kepuasan publik terhadap kinerja menteri dan reshuffle kabinet. Dalam hasil survei bertajuk "Membaca Situasi Politik dan Konstelasi Elektoral Pasca Rakernas Projo" itu, hanya 53,5 persen responden menyatakan puas dengan kinerja menteri-menteri Kabinet Indonesia Maju. Sementara 63,1 persen responden setuju jika Presiden Joko Widodo melakukan reshuffle.

Direktur Eksekutif Charta Politika Yunarto Wijaya memaparkan publik yang menyatakan puas terhadap kinerja menteri hanya 53,5 persen dan 38,8 menyatakan tidak puas. Temuan ini menurut Yunarto menarik lantaran tingkat kepuasan publik terhadap kinerja pemerintahan Jokowi-Ma'ruf cukup baik dengan perolehan 68,4 persen. Sedangkan menyatakan tidak puas 30 persen.

"Kalau kita lihat ada gap yang cukup besar. Ketika kit lihat ada 68,4 persen orang puas dengan kinerja pemerintahan Jokowi-Ma'ruf tapi hanya 53,5 persen yang menyatakan puas terhadap kinerja menteri. Artinya kan ada suatu yang salah ketika gapnya menjadi besar antara tingkat kepuasan terhadap pemerintah dan terhadap menteri. Padahal menteri adalah secara operasional menjalankan tugas pemerintahan," ujar Yunarto dalam rilis survei secara daring, Senin, 13 Juni.

Kemudian, Charta Politika juga mencatat bahwa mayoritas publik setuju jika Presiden Joko Widodo kembali mereshuffle menteri-menterinya dengan angka 63,1 persen. Sementara yang tidak setuju hanya 24,3 persen.

Diketahui, beberapa hari ke depan Presiden Jokowi dirumorkan akan melakukan reshuffle terhadap kabinetnya, tepatnya pada 15 Juni mendatang. Bahkan secara sumir, Mensesneg Pratikno mengatakan mungkin saja akan ada reshuffle dan jika sudah tepat waktunya akan diumumkan ke publik.

"Meski isu reshuffle kembali menguat namun tidak terjadi tapi memang dukungan publik terhadap adanya reshuffle cukup besar di 63,1 persen jauh dari yang menyatakan tidak setuju hanya 24,3 persen. Jadi bisa dibuat hipotesa ketika reshuffle dilakukan ini berpotensi jadi faktor pendorong dari makin menaiknya tingkat kepuasan publik terhadap pemerintahan Jokowi-Maruf dengan catatan reshuffle didasarkan dengan kebutuhan kinerja," jelasnya.