Peter Gontha Mengaku Pernah Minta Batalkan Kontrak Sewa Pesawat Boeing 737 Max tapi Ditolak Direksi Garuda Indonesia

JAKARTA - Mantan Komisaris PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk Peter F. Gontha kembali bersuara di media sosialnya. Ia bercerita pernah meminta direksi Garuda Indonesia untuk membatalkan kontrak sewa pesawat Boeing 737 Max, namun ditolak karena alasan kontrak tidak dapat dibatalkan.

"Tahun lalu (2020) saya minta direksi untuk batalkan kontrak tersebut tetapi tidak dikerjakan karena alasan kontrak tersebut tidak bisa dibatalkan apapun alasannya," tulis Peter di akun Instagram pribadinya @petergontha, dikutip Selasa, 2 November.

Tak hanya itu, Peter juga mengaku pernah meminta direksi untuk menuntut perusahaan yang menyewakan pesawat tersebut di pengadilan Amerika Serikat dan meminta uang perusahaan dikembalikan. Namun, lagi-lagi permintaan tersebut tidak dilakukan direksi Garuda.

"Saya minta dituntut di pengadilan Amerika Serikat, dan minta uang perusahaan dikembalikan, tetapi tidak dilaksanakan, padahal Boeing sudah terkendala korupsi," ucapnya.

Awalnya, Peter bercerita bagaimana penyewaan pesawat Boeing 737 Max yang dilakukan pada 2013-2014 bisa terjadi. Ia mengaku diminta untuk menandatangani kontrak sewa pesawat tersebut. Namun, waktu yang diberikan sangat singkat hanya 1x24 jam.

Peter mengaku menolak untuk memberikan tanda tangan terkait penyewaan pesawat Boeing 737 Max tersebut. Alasannya, karena total nilai kontraknya yang besar namun waktu untuk mengevaluasinya hanya diberikan 24 jam.

Untuk diketahui, pada saat penyewaan pesawat Boeing 737 Max tersebut dilakukan, Garuda berada di bawah kepemimpinan Emirsyah Satar. Ia menjabat sebagai direktur utama sejak 2005 hingga 2014.

"Ini pesawat Boeing 737 Max yang ditandatangani direksi/komisaris Garuda 2013/2014. Saya diminta untuk menandatanganinya, tapi saya menolak. Kenapa? Karena kita diberikan 1x24 jam untuk menandatanganinya. Total kontraknya melebihi 3 miliar dolar AS untuk 50 pesawat. Gila kan hanya 24 jam," tuturnya.

Kata Peter, dirinya dipaksa untuk melakukan tanda tangan kontrak sewa pesawat Boeing 737 Max tersebut. Jika tidak, akan diatur seolah-olah pembelian pesawat tersebut gagal. Alhasil, ia pun memberikan tandatangannya, namun dengan catatan tidak diberi cukup waktu untuk evaluasi.

"Karena dipaksa dengan alasan saya harus ttd, kalau tidak menjadi (disetting) "gagal" pembeliannya. Saya akhirnya tandatangani juga dengan catatan: bahwa kita tidak diberi cukup waktu untuk evaluasi. Dan saya dikucilkan oleh "direksi waktu itu". Saksi hidup masih banyak. Tanyakan saja! Juga jejak digitalnya saya ada!," ujarnya.

Peter juga mengaku bersyukur karena dari kontrak sewa pesawat Boeing 737 Max yang harusnya 50 unit pesawat, baru dikirim ke Indonesia satu unit. Kemudian, pesawat tersebut bermasalah karena gagal desain bahkan jatuh.

"Akhirnya (untungnya) hanya satu pesawat yang terkirim karena pesawat tersebut gagal desain dan jatuh (Lion Air dan Euthopia Air)," tuturnya.

Karena itu, Peter mengaku pada 2020 meminta kontak sewa dibatalkan. Namun, tidak dilakukan oleh direksi Garuda Indonesia.

"Sekarang bagaimana? Entahlah," tulisnya.

Menurut Peter, Menteri BUMN Erick Thohir tidak mengetahui bagaimana proses penyewaan pesawat Boeing 737 Max pada tahun 2013-2014 dilakukan. Ia pun mengaku akan memberitahukan mengenai hal tersebut secara langsung.

"Cerita ini menBUMN mungkin tidak diinformasikan ini harus saya kasih tahu, karena kalau tidak Pak Erick yang salahkan!," ucapnya.

Salah satu akun bernama @__danisaputra berkomentar di postingan Peter. Ia menayakan apakah saat penyewaan pesawat tersebut terjadi Chairul Tanjung sudah menjabat sebagai Menteri Koordinator bidang Perekonomian dan mengetahui soal kontrak sewa pesawat Boeing 737 Max tersebut.

"Pada saat tanda tangan itu, Pak CT sudah menjadi menteri? Kalau masih menteri, apakah Pak CT sebagai pemegang saham Garuda mengetahui soal kontrak tersebut Pak?," tulisnya.

Peter pun menjelaskan bahwa pada saat penandatanganan kontrak sewa pesawat tersebut Chairul Tanjung belum menjabat sebagai Menteri Koordinator bidang Perekonomian. Meski begitu, ia mengaku telah melaporkannya kepada Chairul Tanjung.

"Belum menteri, saya laporkan, Beliau hanya bisa geleng kepala, karena minoritas," balas Peter.

Sekadar informasi, korporasi milik pengusaha Chairul Tanjung itu menggenggam 28,27 persen saham Garuda Indonesia melalui Trans Airways.