Pendidikan Formal Dianggap Bisa Mengubur Rasa Keingintahuan Anak Hidup-Hidup
Ilustrasi (Foto: Kemendikbud.go.id, editing: Raga Granada/VOI)

Bagikan:

Aktif bertanya menjadi salah satu tanda bahwa si kecil tengah bertumbuh di periode keemasannya. Rasa keingintahuan tersebut seyogyanya harus terus dipelihara sampai ia dewasa. Tapi nyatanya, banyak anak mulai kehilangan rasa penasarannya tatkala mulai memasuki pendidikan formal. Bagian pamungkas Tulisan Seri khas VOI, "Menyepuh Masa Emas Anak," tentang apa-apa yang mengubur rasa keingintahuan sang buah hati. 

Akan tiba waktunya bagi setiap bayi manusia bertumbuh dan menjadi seorang yang aktif bertanya. Ini lazim terjadi tatkala bayi sedang lucu-lucunya. Pada periode ini juga masa keemasannya berlangsung. Momen yang harus dioptimalkan para orang tua, agar tumbuh kembang sang buah hati sempurna.

Dimulai dari merasakan bagaimana rasanya makanan, menyadari spektrum warna, dan hal-hal baru yang hampir semuanya memberi kesan bagi sang bayi. Ia terus tumbuh. Hingga kemudian mulai bisa menyentuh, merasakan, mencium, dan memanfaatkan indera lainnya secara bertahap.

Yang perlu disadari pula ialah sudah menjadi fitrahnya bagi seorang bayi, seiring pertumbuhannya bertambah pula rasa keingintahuannya. Hal tersebut dilakukan untuk memindahkan struktur pengetahuan mereka lebih dekat ke keadaan seperti orang dewasa. Kemampuan untuk mengajukan pertanyaan untuk mengumpulkan informasi yang dibutuhkan merupakan mekanisme yang efisien untuk perkembangan kognitif. 

Seperti diungkap Michael M Chouinard dalam jurnalnya yang berjudul Children's Questions: A Mechanism for Cognitive Development, seseorang anak tak akan berhenti bertanya sampai ia betul-betul mendapat jawaban yang informatif. Fakta ini berhasil dia ungkap lewat hasil analisa terhadap balita. 

Hasil analisa juga menunjukkan bahwa isi pertanyaan anak-anak paralel dengan kemajuan konseptual mereka dan bergeser dalam suatu pertukaran untuk mencerminkan proses pembelajaran. Jadi, jurnal ini menunjukkan bahwa komponen perkembangan anak sudah ada sejak dini dan digunakan oleh anak-anak sejak awal perkembangan.

Ilustrasi (Sumber: Unsplash)

Rasa keingtahuan seorang anak memang hadir secara bertahap. Dan seperti dijelaskan Profesor Perkembangan Anak di Syracuse University New York Alice Sterling Honig dalam Scholastic, tahapan itu sudah berlangsung bahkan sejak ia baru lahir. Menurut Honig, setelah beberapa waktu bayi lahir kedua, ia mulai menatap dalam-dalam ke mata orang dewasa "seolah-olah mencoba untuk mengetahui semua tentang orang itu."

Daya jelajah bayi itu sebetulnya sangat kuat. Hal tersebut bisa dilihat dengan menarik tangan ke mulutnya dan saat ia belajar mengisap jemarinya demi kenyamanan diri. 

Sementara anak-anak prasekolah yaitu sekitar 2-4 tahun, akan tertarik pada suatu barang atau suatu situasi. sering mengikuti petunjuk teman-temannya, dan rasa ingin tahunya muncul. Kadang-kadang merasa sulit untuk memilah mana yang nyata dan yang tidak. Mereka sangat ingin tahu tentang hal-hal yang tampak ajaib. 

Rasa ingin tahu anak seperti halnya dengan bernafas. Mereka menghirup dunia di sekitarnya, memprosesnya, dan mengembuskan pemahaman. Melalui proses ini, mereka membangun pengetahuan mereka sendiri tentang apa, mengapa, dan bagaimana kehidupan.

Ingin bersekolah

Besarnya rasa keingintahuan anak-anak itulah yang kemudian mendorongnya begitu antusias ingin bersekolah. Seperti dijelaskan Pengamat Pendidikan Doni Koesoema kepada VOI, menurutnya keinginan anak-anak untuk bersekolah sangat wajar dan natural. Menurutnya alasan anak-anak usia sekitar 3 atau 4 tahun ingin sekali bersekolah bisa karena pengaruh lingkungan dan keluarga. 

"Kalau sekolah kan bisa ketemu anak-anak, ketemu guru, kemudian kakaknya pulang cerita kalau habis ketemu teman-temannya yang lain. Anak-anak itu kan senang berkumpul dan bermain," ujar Doni. 

Ilustrasi (Sumber: Kemendikbud.go.id)

Kata Doni, selain punya rasa ingin tahu, anak-anak adalah makhluk sosial yang mana memiliki intuisi untuk berteman dengan anak-anak lainnya. Bayangan mereka bahwa sekolah adalah bermain dan banyak teman, mendorong keinginan mereka untuk segera bersekolah. 

Dalam beberapa bulan pertama masuk taman kanak-kanak, anak mulai bergerak melalui tahap perkembangan egosentris yang berpusat pada diri sendiri. Keingintahuan mereka sebagian besar adalah tentang pengamatan yang mereka buat dalam kehidupan dan apa yang paling sering dilakukan. 

Anak-anak mulai bertanya-tanya tentang apa yang dia lihat di sekolah dan di rumah, tentang alam, tentang keluarga dan teman-teman mereka. Mereka juga mulai sadar akan pertumbuhan tubuhnya. 

Umumnya, anak usia 5 dan 6 tahun atau mereka yang baru masuk Sekolah Dasar (SD), biasanya rasa keingintahuannya sudah lebih matang. Ciri-cirinya, mereka kerap bertanya-tanya tentang bagaimana sesuatu hal dapat bekerja.

Seringkali mereka akan mengajukan pertanyaan paling menakjubkan yang jarang terpikirkan orang dewasa. Misal, pertanyaan "Dari mana datangnya malam? Ke mana semut pergi?" 

Namun sayangnya, semangat untuk menggali pengetahuan itu dapat memudar ketika anak tersebut mulai memasuki sekolah formal. Terutama selepas masuk SD. Apa penyebabnya?

Infografik (VOI/Raga Granada)

Memudarnya rasa ingin tahu anak

Untuk menjawab hal itu, Pengamat Pendidikan Doni Koesoema punya jawabannya. Menurutnya, memudarnya rasa keingintahuan anak-anak terjadi ketika mereka dihadapkan dengan aturan dan disiplin yang ketat, seperti harus dapat membaca, duduk tertib, dan mendengarkan guru. 

Apalagi sambung Doni, anak kelas 1 SD merupakan masa transisi dari taman kanak-kanak (TK). Ketika pembelajaran itu dipaksakan, maka rasa ingin tahunya berangsur mati. 

"Harusnya kelas 1 masih banyak bermain, tapi sudah mulai dikenalkan menulis. Sedangakn anak kelas 1 di Indonesia sudah harus bisa membaca dan menulis, sehingga di TK sudah belajar membaca. Ketika anak dipaksa belajar membaca dan menulis, sedangkan anaknya masih ingin bermain, itulah yang mematikan kreativitas. Rasa ingin tahunya malah mati," kata Doni. 

Hal tersebut menunjukkan adanya masalah proses belajar dan kurikulum di Indonesia. Khususnya, yang memungkinkan potensi anak berhenti. Jadi, bagaimana kreativitas dan keingintahuan anak tergantung dari lingkungan dan orang tua yang mengarahkan. 

Dukungan orang tua dan lingkungan sejak dini memang sangat penting bagi kecerdasan anak. Hal ini juga dibuktikan oleh orang tua pecatur Judit Polgár yang merupakan Grand Master catur asal Hongaria. Keberhasilan Judit menjadi pecatur dunia diketahui tidak terlepas dari peran kedua orang tuanya. 

Judit dan dua kakak perempuannya, Grandmaster Susan dan Master Internasional Sofia, merupakan eksperimen pendidikan yang dilakukan oleh ayah mereka, László Polgár. Bukan eksperimen yang mengerikan, eksperimen ini untuk membuktikan bahwa anak-anak dapat mencapai prestasi luar biasa jika dilatih dalam suatu bidang sejak usia sangat dini. 

"Seorang jenius tidak dilahirkan, tetapi dididik dan dilatih. Ketika seorang anak dilahirkan sehat, maka mereka semua memiliki potensi jenius." kata László.