Bagikan:

JAKARTA - Revisi Undang undang 19 Tahun 2006 tentang Dewan Pertimbangan Presiden yang dilakukan menjelang masa akhir jabatan DPR, mengejutkan banyak pihak. Rencana tersebut sebelumnya tidak masuk dalam prioritas Program Legislasi Nasional (Prolegnas). DPR dan Presiden memang dapat mengajukan RUU di luar daftar Prolegnas namun dengan kriteria dan keadaan tertentu, yakni keadaan luar biasa dan adanya urgensi nasional.

Pasal 111 ayat (3) Peraturan DPR 1/2014 menyebutkan RUU dapat diajukan di luar Prolegnas meliputi kepentingan meratifikasi konvensi atau perjanjian internasional; mengisi kekosongan hukum akibat putusan Mahkamah Konstitusi; mengatasi keadaan luar biasa, keadaan konflik, atau bencana alam; atau mengatasi keadaan tertentu, dengan memastikan urgensi nasional. Namun kondisi saat ini tidak ada kemendesakan itu.

Revisi itu dikabarkan karena alasan kurang optimalnya peran Wantimpres selama ini dalam memberikan masukan dan nasehat kepada presiden. Padahal itu seperti bertolak belakang dengan konsep yang kita anut sebagai pemerintahan presidensial yang menguatkan posisi presiden dengan memberikan keleluasaan presiden mengambil keputusan tanpa pengaruh pihak lain. Sehingga peran Wantimpres sebagai penasehat presiden tidak sepenuhnya diandalkan. Hanya jika presiden benar-benar membutuhkan maka presiden baru meminta nasihat Wantimpres.

Namun melalui revisi UU 19 tahun 2006 DPR berniat memberikan penguatan pada Wantimpres. Bahkan revisi itu sampai mengubah yang semula dari Lembaga pemerintah di rumpun eksekutif. Akan diubah kedudukannya menjadi Lembaga negara dengan nama Dewan Pertimbangan Agung. Nama yang jauh lebih mentereng dari Wantimpres sebelumnya. Memang posisi ini kabarnya disiapkan bagi mantan-mantan presiden sebelumnya, terutama Presiden Jokowi saat tak lagi menjabat.

Pengamat Hukum Tata Negara, Feri Amsari mempersoalkan penggunaaan nama yang sama dengan Dewan Pertimbangan Agung sebelum reformasi, karena sesuai Amandemen UUD 45 keberadaannya telah dihapuskan pada 31 Juli 2003. Dia juga mempertanyakan relevansinya dengan menghadirkan kembali nama DPA tersebut. Meski nama itu dimaksudkan nama yang beda dengan DPA terdahulu. Menurutnya Wantimpres posisinya sebagai lembaga sayap kepresidennya. Jika dibentuk sebagai lembaga tersendiri terlepas dari kepresidenan, menurutnya tidak pada tempatnya. Ia menduga hal itu memiliki kepentingan politis, "Ini hanya soal negosiasi politik terakhir," ujar Feri saat berdialog dengan anggota Baleg Herman Khaeron di televisi.

Sehingga menjadi pertanyaan publik apa sebenarnya tujuan revisi Undang undang 19 Tahun 2006 yang terasa mendadak dan seakan dipaksakan, kemana arah revisi tersebut. Publik jadi berspekulasi dengan ide yang pernah dilontarkan politisi Gerindra, untuk membentuk "Presidential Club". Meski Prabowo sempat membantah nama itu. Namun menurut Juru Bicara (Jubir) Prabowo Subianto, Dahnil Anzar Simanjuntak, Prabowo ingin para mantan presiden bisa tetap bertemu rutin dan berdiskusi tentang masalah strategis kebangsaan. Dahnil menyebut perkumpulan tersebut sebagai presidential club.

Jokowi dan Prabowo (Foto: Antara)
Jokowi dan Prabowo (Foto: Antara)
 

Silaturahmi Antar Mantan Presiden

Pembentukan DPA inilah mungkin wadah yang dimaksud dengan harapan Prabowo meletakan orang seperti Jokowi dan tokoh lainnya. Ini juga menjadi arah dari revisi Wantimpres tersebut. Makanya DPR perlu memberikan penguatan Wantimpres yang baru itu. Sehingga bisa digunakan merangkul tokoh-tokoh level mantan presiden dan wakil presiden seperti Susilo Bambang Yudhoyono, Tri Sutrisna, Jusuf Kalla dan Jokowi. Syukur bisa menggandeng Megawati dalam satu yang memang menjadi sasaran penting bagi Prabowo.

Sebelumnya pengamat politik dan Direktur Eksekutif Indo Barometer, M Qodari, mengatakan pembentukan Lembaga seperti "Presidential Club". Akan memberikan dua keuntungan bagi Prabowo. Pembentukan klub silaturahmi presiden dan mantan presiden tersebut akan berdampak positif bagi persatuan bangsa, sehingga layak didukung dan diterapkan.

Kedua, Prabowo akan mendapatkan masukan dan dukungan untuk pembangunan bangsa Indonesia di masa mendatang. Forum tersebut dapat membantu Prabowo dalam memetakan berbagai persoalan bangsa dan mendapatkan masukan serta solusi dari para mantan presiden. Baik persoalan pengangguran, investasi, kesehatan, pendidikan, dan infrastruktur. Keuntungan lain forum itu. Selain juga akan memberikan tambahan dukungan politik dari parlemen maupun dari publik.

Politik akomodatif lain juga terlihat dalam penyusunan menteri-menteri kabinet Prabowo-Gibran yang sedang dirancang. Memang belum ada kejelasan tentang jumlah Kabinet Prabowo-Gibran. Namun diperkirakan akan lebih banyak dari jumlahnya kabinet semasa Jokowi. JIka pada masa Jokowi berjumlah 34 Menteri dengan 4 menteri koordinator dan 11 pejabat setingkat Menteri. Kabinet Prabowo-Gibran akan lebih banyak dari itu.

Waketum Gerindra Habiburokhman menyebut hingga saat ini belum ada pembahasan menteri di partainya dan Koalisi Indonesia Maju (KIM). Menurut adanya poster dan daftar yang beredar itu hanya lucu-lucuan, karena dibuat pihak tertentu bukan dari pihaknya. "Belum ada pembahasan soal menteri, baik di Gerindra maupun di Koalisi Indonesia Maju (KIM).," katanya membantah daftar nama Menteri Menteri yang beredar.

Menanggapi jumlah kabinet gemuk itu, Mantan Paslon Pilpres Nomor urut 3 Ganjar Pranowo, Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara tercatat ada pembatasan untuk pembentukan jumlah Menteri. Namun seperti luput dari pengamatan Ganjar berapa hari yang lalu Gerindra melalui orang- orang di Baleg, dengan cekatan telah mengantisipasi rintangan itu. Secara tiba-tiba Baleg DPR mengumumkan telah merevisi aturan itu.

Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR RI Supratman Andi Agtas yang juga dari Partai Gerindra mengatakan sembilan fraksi di Baleg DPR menyetujui draf revisi UU Kementerian. Di mana salah satu pasalnya terkait pembatasan jumlah kementerian sebanyak 34 dihapus. Menurutnya DPR telah menyepakati menghapus pembatasan jumlah menteri.

Dengan dalih untuk memperkuat sistem presidensial dan untuk memberi keleluasaan presiden terpilih untuk menentukan jumlah menterinya. "Bahwa siapapun presidennya tidak boleh dikunci, terkait dengan angka menyangkut soal jumlah kementerian ataupun nomenklatur kementeriannya." tandas Supratman, kepada wartawan, 16 Mei Lalu.

Megawati Soekarnoputri yang pernah menjabat sebagai Presiden Indonesia era 2001-2004. (ANTARA)
Caption

Kunci Politiknya Ada di PDIP?

Politik Akomodatif lainnya yang dilancarkan Prabowo adalah wacana pembentukan koalisi besar pendukung pasangan Prabowo-Gibran. Koalisi ini terus diperkuat dengan merengkuh pihak-pihak yang semula berseberangan dengan Paslon No 2. Seperti partai PPP, yang semula berada di kubu pasangan calon no 3, kabarnya sudah melakukan pendekatan.

Juga partai Nasdem dan terakhir PKB dengan Muhaiminnya. Sebelumnya Cak Imin (Muhaimin) dan partainya ini telah berada bersama mereka, namun menjelang pilpres karena suatu permasalahan berganti haluan dan berpasangan dengan Anies Baswedan. Rupanya Prabowo ingin berbulan madu dengan mantan rivalnya itu untuk memperkuat dan membesarkan koalisinya.

Sehingga saat ini praktis tersisa tinggal PKS yang belum menentukan sikap. Sementara PDIP sudah mengatakan akan berada diluar pemerintahan. Namun Pendekatan tetap dilakukan Gerindra kepada PKS, untuk menjajaki koalisi dengan partai kanan itu. Prabowo maupun Gerindra tak memiliki masalah signifikan yang dapat menghalangi pembentukan koalisi. PKS juga sempat mengusung Prabowo di Pilpres 2014 dan 2019. Sekjen Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Aboe Bakar Al-Habsyi menyatakan pihaknya sedang mengatur jadwal silaturahmi partainya dengan presiden terpilih Prabowo Subianto.

Meski Prabowo telah menghimpun banyak partai dan koalisinya, namun menurut Pengamat Politik Direktur Lingkar Madani (LIMA) Indonesia, Ray Rangkuti sampai saat ini Prabowo belum merasa nyaman dengan keberadaan PDIP di luar pemerintahan. Hingga saat ini Prabowo masih berusaha untuk mengupayakan jalan bisa berkomunikasi dengan Megawati sebagai Ketua Umum PDIP. Menurut Ray, Prabowo sampai pada level frustasi mengupayakan pendekatan itu. Menurutnya, Prabowo sadar ganjalan itu masih akan terus terjadi selama pihaknya masih menempel dengan Jokowi. Sebab Megawati belum akan mau mempertimbangan tawaran Prabowo selama Jokowi ada disana.

Salah satu jalan ditempuh untuk memfasilitasi pendekatan ini adalah memperkuat keberadaan Wantimpres menjadi lembaga negara. Antara lain menurut Ray maksud tujuan itu, syukur syukur bisa menarik Megawati untuk ikut di sana.

Rangkuti mengatakan dengan adanya PDIP di luar koalisinya Prabowo serasa tidak nyaman. Hal ini disebabkan koalisi dengan banyak partai sekarang hanya didasari kepentingan pragmatis. Mereka yang suatu saat bisa saja meninggalkan gerindra sehingga sampai saat ini partai yang berlambangkan burung garuda itu tidak merasa aman bila belum bergabungnya PDIP ke dalam koalisi.

Namun di sisi lain, Gerindra terus melakukan perangkulan partai untuk masuk ke dalam koalisi pemerintahan. "Istilah banyak koalisi itu untuk mengepung PDIP." kata Ray kepada VOI saat dihubungi, pekan lalu.

Bacaan Ray, selama belum terjadi pelantikan maka konstelasi politik Indonesia akan begini-begini saja. Prabowo juga belum belum berani menentukan berapa jumlah anggota kabinetnya, maka komposisinya masih akan berubah-ubah. Salah satunya untuk menyiapkan jatah untuk PDIP jika bersedia bergabung.

"Dan bacaan saya sebelum dilantiknya Prabowo menjadi presiden, belum akan terjadi perubahan konstelasi. Setelah pelantikan Prabowo menjadi Presiden ke delapan, mungkin baru akan ada perubahan, misalnya Prabowo mengambil langkah ekstrim melepaskan diri dari Jokowi demi bisa menggaet Megawati," katanya.