Bagikan:

JAKARTA - Saat masih menjabat Panglima TNI, Moeldoko kini Kepala Staf Kepresidenan mengaku sempat dibuat kesal dengan PT Asuransi Sosial Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (Asabri) (Persero), sebab selama menjabat sebagai panglima dirinya tak bisa mengakses berapa jumlah simpanan milik 500 ribu prajuritnya.

"Bayangkan Panglima, yang punya 500 ribu prajurit, menyentuh saja tidak bisa, menempatkan orang juga bisa tidak bisa, akhirnya saya panggil manajemen untuk presentasi. Hingga kejadian kemarin juga saya tidak ngerti" keluhnya saat menghadapi kasus PT Asabri. Ia pun me wanti-wanti agar Tapera, tak bernasib sama seperti Asabri.

Pengumpulan dana melalui Asabri, menjadi kisah kelam warga TNI baru-baru ini. Mereka harus kehilangan duit Tabungan Hari Tua dan dana Program Akumulasi Iuran Pensiun (AIP) yang disisihkan dari potongan 8 persen gaji pokok mereka perbulan selama berdinas di TNI, karena ketidakbecusan pengelolaan Asabri. Diperkirakan dana senilai 22,788 triliun dikorupsi dan tidak jelas keberadaannya, diduga dana mengalir ke sejumlah tempat dengan dalih diinvestasikan. Akibat kasus ini direktur PT Asabri, Benny Tjokrosaputro bersama 7 direktur lainnya harus berurusan dengan pengadilan.

Pengalaman Moeldoko ini tak ingin terjadi di Tapera. Sehingga Moeldoko merasa perlu mengingat kasus tersebut saat membuka acara konferensi pers soal program Tapera yang dianggap punya kemiripan sebagai program pengumpulan dana masyarakat, dihadapan sejumlah awak media, akhir April lalu.

Demikian trauma dan keresahan yang sama juga dirasakan publik saat menghadapi penawaran pemerintah pada Program Tapera saat ini. Selain masalah tersebut juga ada beberapa masalah yang selama ini menjadi keengganan publik menerima penerapan kebijakan Program Tapera sesuai UU Nomor 4 Tahun 2016 tentang Tabungan Perumahan Rakyat, berikut aturan pelaksanaanya, Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 21 Tahun 2024 tentang perubahan atas PP Nomor 25 Tahun 2020 tentang Penyelenggaraan Tabungan Perumahan Rakyat.

Selain ragu dengan program ini, masih banyak pertanyaan di benak publik tentang program ini. Antara lain apakah upaya masyarakat menabung sekian tahun bisa mewujudkan kepemilikan rumah, berapa tahun bisa terealisasi, penghasilan beradab bisa mewujudkan dengan skema yang ada.

Lagi-lagi Moeldoko menegaskan program Tapera bukan merupakan iuran, tetapi sebagai tabungan yang pada akhir masa pensiun pekerja bisa diambil plus dengan hasil pemupukan. Program ini diterapkan bagi pekerja yang memiliki gaji diatas UMR atau diatas 4 juta. Ia juga memaparkan dari hasil penelusuran Google Tending, diketahui keingintahuan masyarakat tentang Tapera dan mekanisme pendaftaran cukup tinggi.

Pungutan resminya akan dilakukan pada 2027. Pengontrolannya akan diawasi oleh sebuah Komite, yang diketuai oleh PUPR dengan anggota dari Kemenkeu, Kementerian Tenaga Kerja, OJK dan Profesional. "Minimum akan dikontrol dengan benar benar oleh Komite, minimal akan diawasi oleh OJK," tegasnya.

Ilustrasi. (Foto: Dok. Antara)
Ilustrasi. (Foto: Dok. Antara)

Minimal Setahun Menabung di Tapera

Komisioner BP Tepera, Heru Pudyo Nugroho, menjelaskan kehadiran Tapera didorong alasan indeks keterjangkauan hunian atau perumahan masih rendah. Diketahui keterjangkauan rumah masih rendah. Indek harga rumah terjangkau masih diatas 5. Dikatakan harga rumah terjangkau bila indek 3, atau 3 kali penghasilan dalam setahun bisa untuk membeli rumah.

Kondisi saat ini di 12 provinsi terpadat di Indonesia, angka keterjangkauan sudah diatas 5, artinya sangat tidak terjangkau. Ini terjadi di semua segmen baik MBR, Menengah dan Masyarakat Atas. Untuk itu Tapera hadir sesuai amanah UU 4/2016. Untuk meningkatkan kemampuan affordability (keterjangkauan) masyarakat dengan harga rumah tersebut. Dengan cara penurunan suku bunga yang berimbas pada penurunan angsuran bulanan.

Jika diasumsikan mengambil rumah harga 100 juta. Ia mengatakan terdapat selisih 1 juta bila mengambil PPR Tapera dibanding mengangsur KPR komersial. JIka kita mengangsur dengan KPR komersial angsurannya sekitar 3,1 juta asumsi bunga sebesar 11 persen. Sementara jika dengan KPR Tapera angsuran hanya 2,1 juta termasuk manfaat tabungan. Tapi sebelum mengajukan kredit peserta Tapera harus menabung dulu untuk memperlihatan kapasiti kemampuan mengangsurnya. Menabung 1 tahun cukup memperlihatkan track record kemampuanya.

Heru menegaskan kalau melihat substansi Tapera sebenarnya tidak semua pekerja diwajibkan. "Yang diwajibkan hanya pekerja yang pendapatan upah minimumnya diatas UMK atau sekitar Rp 4 juta. Yang dibawah tidak wajib," ujarnya.

Menjawab pertanyaan mengapa yang tidak butuh rumah atau sudah memiliki rumah ikut diwajibkan menabung di Tapera ? Menjawab itu, Heru mengatakan backlog kepemilikan rumah di Indonesia masih sangat tinggi. Sekitar 9,9 juta orang tidak memiliki rumah, melihat backlog dan terjadi kesenjangan antara kebutuhan dengan penyediaan perumahan masih tinggi.

Sementara kemampuan pemerintah dengan berbagai skema, subsidi, dan fasilitas pembiayaan hanya mampu disediakan hanya 250 ribu rumah. Sementara Data statistik Demand kebutuhannya ada sekitar 700 ribu-800 ribu keluarga baru yang butuh rumah. "Jadi jika mengandalkan pemerintah backlog tak akan terkejar sampai kapan pun," kata Heru.

Menurutnya perlu ada Grand Design yang mengikutsertakan masyarakat. Secara bersama-sama dengan pemerintah dan konsepnya bukan iuran tapi menabung. Bagi yang telah memiliki rumah, ikut membantu subsidi bunga bagi yang belum punya rumah. Ikut menabung agar bunga tetap terjaga di level yang lebih rendah dari bunga komersial saat ini 5 persen. "Itu kenapa ikut menanggung, itu prinsip gotong- royong. itu sebenarnya sangat mulia," ujarnya.

Buruh dan Pengusaha Menjerit

Namun dari pihak buruh masih kekeh menolak penerapan program tersebut. Menurut mereka kebijakan itu saatnya tidak tepat ditengah kondisi serba sulit saat ini. Selain ketidakjelasan mekanisme pelaksanaan program tersebut. Alasan lain buruh menolak Tapera. Pertama, menyangkut iuran yang akan menggerus upah mereka karena buruh rendah masih banyak memiliki tagihan lain. Kedua, ancaman PHK jika perusahaan kesulitan karena menanggung beban Tapera.

Presiden Konfederasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia (KSBSI) Elly Rosita Silaban mengatakan, meski upah buruh/pekerja mengalami kenaikan setiap tahunnya, kenaikan tersebut dinilai masih belum bisa mencukupi kebutuhan para pekerja, apalagi jika ditambah adanya iuran Tapera.

Sementara dari sisi pengusaha, Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) Shinta Kamdani menegaskan bahwa APINDO menolak tegas kebijakan pemotongan gaji pekerja sebesar 3 persen untuk Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera). Pertama, PP Nomor 21 Tahun 2024 dinilai duplikasi dengan program sebelumnya, yaitu Manfaat Layanan Tambahan (MLT) perumahan bagi peserta program Jaminan Hari Tua (JHT) Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Ketenagakerjaan (BP Jamsostek)/BPJS Ketenagakerjaan. "Bisa memanfaatkan sumber pendanaan dari dana BPJS Ketenagakerjaan ini,” ujar Shinta.

Shinta berharap pemerintah dapat lebih mengoptimalkan dana BPJS Ketenagakerjaan ini, di mana sesuai PP maksimal 30 persen atau senilai Rp138 triliun dari dana tersebut. Dikatakan Shinta, Aset JHT sebesar 460 Triliun bisa digunakan untuk program MLT perumahan bagi pekerja, mengingat ketersediaan dana MLT yang sangat besar dan dinilai belum maksimal pemanfaatannya.

Saat ini, menurutnya beban pungutan yang ditanggung pelaku usaha sudah mencapai angka 18,22 – 19,74 persen dari penghasilan kerja dengan rincian, program Jaminan Sosial Ketenagakerjaan berdasarkan UU Nomor 3 Tahun 1999, meliputi JHT (3,7 persen), Jaminan Kematian (0,3 persen), Jaminan Kecelakaan Kerja (0,24-1,74%), Jaminan Pensiun (2 persen). Kemudian program Jaminan Sosial Kesehatan berdasarkan UU Nomor 40 Tahun 2004, sebesar 4 persen. Ditambah dengan program Cadangan Pesangon sesuai UU Nomor 13 Tahun 2003 dan UU Nomor 24 Tahun 2004 sebesar 8 persen.

“Beban ini semakin berat dengan adanya depresiasi rupiah dan melemahnya permintaan pasar," kata Shinta.

Sepakat dengan APINDO, Elly Rosita Silaban, pemerintah sebenarnya bisa memaksimalkan pemanfaatan dana MLT BPJS Ketenagakerjaan untuk program kepemilikan rumah untuk pekerja yang belum memiliki tempat tinggal.

Kritik Tapera juga datang dari Eks Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD, yang mengatakan sebaiknya pemerintah mempertimbangkan suara publik, alih-alih mewajibkan Tapera yang sosialisasi dan dan jaminan kepemilikan belum jelas.

"Kalau tidak ada kebijakan jaminan akan mendapat rumah dari pemerintah bagi penabung. Hitungan matematisnya memang tidak masuk akal," kata Mahfud dalam akun X-nya, Kamis 30 Mei.

Berdasarkan hitungannya, pegawai dengan gaji Rp5 juta yang masa kerjanya telah 30 tahun, hanya akan mendapatkan saldo Tapera sebesar Rp100 juta. Sedangkan pegawai bergaji Rp 10 juta dalam 30 tahun masa kerja hanya mendapatkan saldo Tapera Rp225 juta. "Sekarang sulit dapat rumah dengan uang Rp 225 juta," imbuhnya.

Hanya yang memiliki gaji Rp15 juta yang punya kesempatan bisa memperoleh rumah. Hanya mereka akan lebih memilih mengambil kredit perumahan (KPR) lewat bank-bank karena sudah jelas sejak awal dengan asumsi lebih ringan.

DPR Ikut Soroti Tapera

Anggota Komisi II DPR, Mardani Ali Sera juga mengkritik pemotongan gaji karyawan swasta dan aparatur sipil negara (ASN) untuk Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) sebesar 3 persen. Dia mengkhawatirkan program Presiden Joko Widodo ini bakal berakhir seperti kasus mega korupsi Jiwasraya atau Asabri.

Menurutnya pemerintah salah, karena mengedepankan mandatori kewajiban memotong 3 persen dimana 2,5 dari pekerja dan 0,5 dari pemberi kerja. "Mestinya pemerintah menjelaskan lebih dahulu gambaran besar dari Tapera ini," kata Ketua DPP PKS ini, dikutip dari akun X-nya, Rabu 29 Mei.

Dia juga menyorot masalah lahan pembangunan rumah program Tapera yang berpotensi berdampak pada ongkos. "Potongan didahulukan tapi tidak jelas komitmen menyediakan tanah dari pemerintah seperti apa. Kalau dibangun jauh dari lokasi kerja akan nambah biaya transport," sambungannya

Meski pemerintah telah menjelaskan substansi dikerahkannya masyarakat untuk bergotong royong ikut Tapera terutama bagi mereka yang sudah memiliki hunian. Namun tentang jaminan tabungan Tapera masih menyisakan keraguan. KSP Moeldoko menjamin program itu akan diawasi oleh Komite yang diketuai menteri PUPR dan beranggotakan Kemenkeu, Kementerian Tenaga Kerja, OJK dan kalangan profesional, belumlah membuat mereka yakin 100 persen dengan keamanan tabungan mereka. Masyarakat masih memiliki trauma dengan model pengumpulan dana selama ini.

Baik atas kasus pengumpulan dana di Asabri, yang belakangan terungkap dana tersebut berujung lenyap. Padahal dana milik prajurit tersebut dikelilingi petinggi TNI hingga Panglima TNI. Namun tetap saja pengumpulan dana itu bermasalah.

Kasus Asabri, ditengarai Menteri BUMN Erick Thohir bermasalah. Sehingga dia akhirnya melaporkan dugaan korupsi itu berdasar hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) kepada Kejagung akhir 2020. Berdasarkan hasil audit BPK, nilai kerugian negara dalam kasus korupsi PT ASABRI mencapai Rp 22 triliun.

Dalam kasus Asabri ini, Jaksa Penuntut Umum (JPU) menuntut hukuman mati pada terdakwa Heru Hidayat. Bos PT Trada Alam Minera (TRAM) itu, dituntut maksimal karena dinilai terbukti korupsi dan pencucian uang (TPPU) dalam pengelolaan dana investasi saham dan reksa dana milik PT Asuransi Sosial Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ASABRI).

Dana PT Asabri bersumber dari dua program peserta Asabri, yakni Tabungan Hari Tua dan dana Program Akumulasi Iuran Pensiun (AIP). Dana itu berasal dari gaji pokok TNI, Polri, dan ASN di Kementerian Pertahanan yang dipotong 8 persen per bulan. Rinciannya, Dana Pensiun 4,75 persen dari gaji pokok, dan THT 3,25 persen gaji pokok, yang dikumpulkan untuk simpanan oleh PT Asabri.

Demikian juga kasus pengumpulan dana oleh PT Jiwasraya, masih dibawah naungan BUMN. Dengan mudahnya dana tersebut menjadi bancakan oknum koruptif, hingga kerugian negara mencapai triliunan rupiah.