Kasus ACT, Pakar Dorong Revisi UU Pengumpulan Uang atau Barang Tahun 1961 Cegah Penyelewengan Donasi
ILUSTRASI DOK VOI/Paripurna DPR

Bagikan:

JAKARTA  - Pakar hukum tata negara Bivitri Susanti mendorong pemerintah dan DPR segera merevisi Undang-Undang (UU) Nomor 9 Tahun 1961 tentang Pengumpulan Uang atau Barang guna mencegah penyelewengan.

"Beberapa kawan dan saya sendiri telah mendorong adanya perubahan Undang-Undang tentang Pengumpulan Uang atau Barang ini," kata Bivitri Susanti pada webinar bertajuk "Polemik Pengelolaan Dana Filantropi" yang dilansir ANTARA, Sabtu, 9 Juli.

Bivitri yang merupakan salah satu pendiri Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) bersama sejumlah pihak mengaku sudah pernah mendorong revisi undang-undang tersebut. Apalagi, Undang-Undang tentang Pengumpulan Uang atau Barang sudah cukup lama sehingga perlu penyesuaian dengan kondisi saat ini.

Akan tetapi, katanya, dorongan revisi undang-undang tersebut selalu terkendala di DPR dengan alasan politik yang tidak jelas.

"Mudah-mudahan ini menjadi momentum bagus untuk merevisi undang-undang tersebut," harap Bivitri.

Tidak hanya revisi undang-undang, Bivitri menilai aturan turunan dari undang-undang itu, yakni Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 29 Tahun 1980 harus diperbarui. Dorongan tersebut sejalan dengan kasus yang terjadi pada Aksi Cepat Tanggap (ACT), salah satu filantropi yang bergerak di bidang sosial dan kemanusiaan.

Bivitri membandingkan keberadaan Undang-Undang tentang Pengumpulan Uang atau Barang dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat yang bisa dikatakan cukup jauh tertinggal.

"Makanya cara berpikir pengelolaan zakat lebih modern, rapi, dan lebih akuntabel," ujarnya.

Menurutnya, pemberian izin dan pendaftaran kepada suatu pihak untuk mengelola dana kepentingan masyarakat banyak, seperti filantropi tidak cukup hanya sebatas pemberian izin. Jauh dari itu, pengawasan dan akuntabilitas harus tetap diawasi agar tidak terjadi penyelewengan dana.

Sementara, dalam Undang-Undang tentang Pengumpulan Uang atau Barang yang diterbitkan pada tahun 1961 tersebut belum mengangkat aspek akuntabilitas, ujarnya.

Karena itu, Bivitri berpandangan pencabutan izin sebuah filantropi sebagaimana yang dialami ACT karena diduga melakukan penyelewengan dana tidak akan menyelesaikan persoalan.

"Jadi teman-teman yang berkegiatan di sektor itu merasa sedih. Gara-gara nira setitik rusak susu sebelanga," ujarnya.

Ia menyarankan pemerintah agar tidak hanya sekadar mencabut izin sebuah filantropi. Namun, penyelesaian masalah harus dilakukan secara struktural dan segera melakukan revisi undang-undang.