Ada Ratusan Korban Jiwa di Papua Namun Tak Ada Satu Capres yang Meminta Maaf
Ilustrasi Foto Andri Winarko VOI

Bagikan:

JAKARTA - Memasuki masa kampanye Pilpres 2024, ketiga paslon, terutama masing-masing capres secara konsisten terus menunjukkan citra tersendiri untuk menggaet pemilih. Pendiri Alvara Research Center, Hasanuddin Ali mengungkapkan analisisnya terkait citra dari masing-masing capres menggunakan tiga dimensi, yakni karakter, kebijakan, dan ideologi.

Sebab, ketiga dimensi itu dinilai menjadi preferensi utama saat memutuskan memilih seorang calon. Pertama, soal karakter. Menurut Hasan, dalam berbagai survei selalu dimunculkan dua citra karakter kepemimpinan yakni pemimpin yang kuat/tegas dan pemimpin yang dekat dengan rakyat.

Kedua, soal kebijakan dimana narasi yang berkembang seringkali bermuara pada dua arus besar kebijakan yakni melanjutkan atau mengubah kebijakan Presiden Joko Widodo. Kemudian dimensi ketiga adalah soal ideologi, yang dalam setiap pilpres berkutat pada ideologi nasionalis dan Islamis.

Hasan menerangkan, Ganjar Pranowo dicitrakan sangat kuat oleh publik sebagai capres yang dekat dengan rakyat. Ganjar juga dinilai akan melanjutkan kebijakan Jokowi dan berideologi nasionalis. Sementara Prabowo Subianto oleh publik dicitrakan sangat kuat sebagai pemimpin yang kuat/tegas. Sama halnya dengan Ganjar, Prabowo juga dicitrakan akan melanjutkan kebijakan Jokowi dan berideologi nasionalis.

Sementara Anies Baswedan, oleh publik dicitrakan sangat kuat sebagai capres yang akan melakukan perubahan terhadap kebijakan Jokowi dan berideologi islamis. Dari sisi karakter kepemimpinan, Anies Baswedan tidak memiliki citra, baik capres yang tegas maupun capres yang dekat dengan rakyat.

Dari pemetaan posisi itu, lanjut Hasan, para pemilih sejatinya telah memiliki persepsi tersendiri pada masing-masing kandidat capres. Positioning atau penentuan posisi kandidat paling baik adalah positioning yang memiliki distingsi paling kuat.

“Kita bisa melihat Ganjar dan Anies memiliki distingsi yang paling kontras, terutama terkait ideologi dan kebijakan. Hemat saya, masing-masing capres sebaiknya menyiapkan strategi pemasaran politik yang berbeda untuk putaran pertama dan putaran kedua, kalau itu terjadi. Selain itu, mapping positioning capres tersebut juga menunjukkan posisi cawapres menjadi faktor penentu yang sangat penting untuk mengisi kekosongan citra yang tidak dimiliki salah satu kandidat capres,” terang Hasan.

Pentingnya Debat Gagasan Antara Kandidat Capres-Cawapres

(Kiri ke kanan) Ganjar, Prabowo dan Anies, tiga capres bertarung dalam debat Pilpres 2024 perdana pada Selasa 12 Desember malam. (dok VOI)
Caption

Ketua Departemen Politik dari CSIS, Arya Fernandes menilai debat kandidat calon presiden pertama yang digelar 12 Desember kemarin cukup menarik dan cukup berkualitas. Penilaian tersebut berdasarkan kepada tiga hal yang pertama adanya variasi isu yang beragam yang didiskusikan oleh para kandidat. Tentunya dengan variasi isu ini akan menjadi refrensi bagi para pemilih untuk mengkomparasikan program dari masing-masing pasangan calon.

"Yang kedua pertanyaan yang diberikan para panelis sudah cukup menjelaskan situasi yang sedang terjadi dan isu-isu strategis yang bisa menjadi concern pemerintahan baru ke depan. Isu yang menjadi catatan ada tiga pertama isu tentang konflik di Papua, isu penanganan hukum dan korupsi dan isu terkait hak asasi manusia," katanya Arya Fernandes.

Tradisi debat capres di bangsa ini masih relatif baru. Bangsa ini baru mulai lima kali melakukan putaran debat yang dimulai pada tahun 2004, 2009, 2014, 2019 dan 2024. Namun begitu efek debat dalam sistem dua putaran tentu saja akan memberikan pengaruh strategis kepada pemilih.

"Berpengaruh kepada pemilih itu juga terdiri dari tiga faktor yang pertama volatilitas suara yang tinggi, kedua angka swingvoters tinggi dan berdasarkan hasil survei beberapa bulan terakhir angka swingvoter itu masih tinggi antara 20-25 persen. Refrensi bagi para pemilih yang masih swing adalah debat. Dan yang ketiga undecided voters (Pemilih yang bimbang) yang angkanya saat ini sudah terbilang kecil berada di angka 5-10 persen," katanya.

"Efek debat dalam satu putaran memang terbatas namun karena saat ini sistem putarannya dua kali, debat akan memiliki fungsi yang strategis,"tambahnya.

Peneliti Departemen Politik dan Perubahan Sosial dari Centre for Strategic and International Studies (CSIS), D Nicky Fahrizal mengatakan solusi yang diutarakan oleh Prabowo Subianto mengenai kenaikan gaji hakim untuk memastikan independensi kehakiman dinilai tidak efektif. Kualitas negarawan seorang hakim ditampilkan saat pengendalian diri dalam menilai situasi demi menjaga integritas negarawan.

Nicky juga menilai visi negara hukum yang disampaikan oleh capres nomor urut tiga Ganjar Pranowo lebih kompleks karena menghadirkan kebijakan yang mengayomi kelompok lemah dan marjinal. Sementara visi yang disampaikan oleh capres dengan nomor urut satu Anies Baswedan, lebih condong menekankan kebebasan sipil dan hak berpolitik warga negara. Sebaliknya, visi negara hukum capres nomor urut 2, Prabowo Subianto, dinilai kurang komprehensif.

Khusus isu antikorupsi, Nicky menilai ketiga capres sudah menaruh perhatian terhadap pencegahan dan pemberantasan korupsi. Namun, terhadap isu perampasan aset ada perbedaan pendapat.

”Anies dan Ganjar menganggap isu perampasan aset sebagai hal yang krusial untuk pemberantasan korupsi, tetapi Prabowo hanya membahas komitmen pemberantasan korupsi tanpa masuk ke dalam substansi penegakan hukum,” ujarnya.

Situasi pelik yang terjadi di Papua juga menjadi isu yang dibicarakan ketiga panelis dalam debat calon presiden. Permasalahan yang terjadi di Papua disebabkan masyarakat yang dibiarkan melakukan interpretasi, baik secara individual maupun kolektif atas peristiwa kekerasan yang terjadi.

Peneliti Senior Politik Vidhyandika D. Perkasa menilai ketiga kandidat capres dalam debat kemarin sangat disayangkan tidak memberikan jawaban yang spesifik dan tidak ada yang mengucapkan permintaan maaf atas permasalahan yang terjadi di Papua. Padahal saat ini konflik yang terjadi di Papua sudah banyak memakan korban jiwa.

"Ketiga capres tidak menjawab pertanyaan secara strategis namun hanya menyampaikan jawaban secara normatif. Selain itu, dengan banyaknya korban dari peristiwa di Papua seharusnya ketiga capres menunjukkan sikap apologetic," katanya.