Bagikan:

JAKARTA – Berbagai kasus kerap menerpa lembaga pemasyarakatan (lapas) di Indonesia. Mulai dari warga binaan (narapidana) yang bebas keluar masuk, menyimpan gawai, memiliki fasilitas yang wah bahkan hingga mengendalikan peredaran narkoba.

Banyak pihak yang menyebut jika berbagai kasus yang terjadi itu menunjukkan karut marut pengelolaan lapas di tanah air. Beberapa waktu lalu, salah satu akun di media sosial X (twitter) yakni @logikapolitikid membuat heboh melalui cuitan mengenai Mario Dandy Satriyo. Putra Rafael Alun Trisambodo yang divonis 12 tahun bui karena penganiayaan berat terhadap David Ozora disebut-sebut mendapat perlakukan khusus ketika di lapas.

Akun yang sering menyebut dirinya sebagai si Pablo itu membongkar tindakan Mario yang rutin pulang ke salah satu rumahnya. Informasi ini didapatkan setelah adanya penyamaran yang dilakukan si Pablo saat di Salemba.

“Gilak yah, sekelas tersangka korupsi pupuk aja bisa dikawal Kapolsek.. nah, gimana dengan sekelas eks Pejabat Pajak? Takis gak nih, hasil penyamaran si Pablo di Salemba, jawab kalo pada minat,” cuit akun tersebut.

Selain itu, akun tersebut juga tak lupa menyebut akun Lapas Salemba saat menambahkan cuitan terkait Mario Dandy di lapas. “Hai @Lapas_Salemba, gimana keadaan Mario Dandy di sana? Masih tetap diizinin keluar jam 11/12 balik sebelum subuh?”

Akun @logikapolitikid mengungkap ada jam-jam khusus bagi Mario Dandy diizinkan keluar lapas untuk pulang ke rumah yakni di Jalan Wijaya, Jakarta Selatan. “Oh iya, no 1 (rumah di Jalan Wijaya) adalah tempat balik yang paling aman buat Mario & bapaknya (RAT).”

Di sela-sela sidang Mario Dandy, Selasa (27/6) lalu, kuasa hukum David Ozora, Mellisa Anggraini juga menyebut jika Mario Dandy juga memiliki akses terhadap alat komunikasi/telepon saat di dalam tahanan. “Memang diceritakan oleh salah satu saksi yang hadir hari ini, bahwa dia ditelepon oleh seseorang, yang kemudian dia sampaikan itu adalah Mario Dandy,” ungkap Mellisa.

Kasus Mario Dandy Satriyo mungkin hanya contoh kecil karut marut yang terjadi di berbagai lapas yang ada di Indonesia. Lantas, apakah tidak ada solusi untuk mengatasi karut marut yang menerpa lapas? Beberapa narasumber yang dihubungi Senin, 11 Desember memiliki pendapat masing-masing terkait karut marut di lapas.

Anggota Komisi III DPR, Arsul Sani mengungkapkan bahwa pihaknya dalam berbagai rapat kerja dengan Kementerian Hukum dan HAM sering menyoroti hal tersebut. Dari berbagai kesempatan rapat itu, Komisi III DPR menilai, salah satu penyebab karut marut di lapas adalah persoalan kapasitas yang berlebihan.

Arsul menyatakan, DPR dengan kapasitas sebagai pembuat undang-undang sudah berupaya mengatasi persoalan kapasitas berlebih di lapas dengan mengesahkan revisi Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP).

Menurut dia, dalam KUHP yang baru, kebijakan penghukuman pidana kepada seseorang sudah diubah dengan mengedepankan asas restorative justice atau keadilan restoratif. DPR, lanjut Arsul, berharap agar penerapan keadilan restoratif bisa mengurai persoalan kelebihan kapasitas di berbagai lapas.

Arsul Sani (Dok VOI)
Arsul Sani. (IST)

“Lapas kita itu memang tak berimbangnya antara ketersediaan tempat untuk menampung tahanan dan narapidana dengan pertambahan jumlah tahanan dan napinya. Yang satu seperti deret hitung, yang satu bertambah seperti deret ukur,” tutur Arsul.

Meski demikian, dia menegaskan bahwa tanpa pengawasan ketat dari pihak Ditjen PAS di bawah Kemenkumham, persoalan karut marut di lapas tidak akan pernah bisa diselesaikan. “DPR hanya bisa membantu dari sisi regulasi perundangan, tapi yang bisa ‘action’ tentu Ditjen PAS yang berwenang dalam pengelolaan lapas,” tambah Arsul.

Senada dengan Arsul, anggota Komisi III DPR, Supriansa juga meminta Ditjen PAS lebih ketat dalam mengawasi bukan hanya warga binaan, tetapi juga para petugas di lapas. Dia berharap dengan pengawasan yang lebih ketat tidak terjadi lagi kasus-kasus negatif yang semakin mencoreng citra lapas di Indonesia.

“Kalau pengawasannya ketat tentu bisa meminimalisir penyelewengan-penyelewengan yang terjadi di lapas,” tegasnya.

Anggota Komisi III DPR lain, Benny Kabur Harman juga mempertanyakan kinerja Kemenkumham dalam hal ini Ditjen PAS terkait pengawasan lapas. Sebab, dia masih sering mendapat laporan soal pelanggaran yang terjadi di lapas, termasuk transaksi narkoba.

“Kalau ke daerah, isu lapas selalu muncul. Transaksi narkoba dalam lapas, ini selalu ditemukan. Bila ditanyakan ke polisi dan BNN, mereka bilang sulit masuk ke lapas. Ini tentu persoalan tersendiri yang juga perlu diperhatikan,” ungkapnya.

Benny menambahkan, akan lebih baik jika Kemenkumham menggandeng pihak-pihak lain untuk mengatasi persoalan akut di lapas. “Di Sragen juga pernah melakukan, mereka menggandeng BNN Daerah untuk memberantas narkoba di lapas,” tukasnya.

Saran lain datang dari anggota Komisi III DPR, Arteria Dahlan, yang meminta Ditjen PAS memiliki data base petugas lapas yang lengkap. Dia juga menyayangkan lulusan-lulusan terbaik dari Politeknik Imigrasi (Poltekim) yang justru berbanyak di direktorat atau malah berkarir di luar Kemenkumham.

“Kalau lulusan-lulusan terbaik itu bisa didistribusi ke seluruh wilayah, paling tidak bisa mencerminkan kesan positif dari Ditjen PAS di seluruh Indonesia,” katanya.

Sementara itu, pengamat kebijakan publik Trubus Rahadiansyah mengkritisi sistem dan kinerja Ditjen PAS. Pasalnya, Ditjen PAS memiliki wewenang dan anggaran cukup besar, yang seharusnya bisa digunakan untuk pembenahan lapas.

“Artinya ada tindakan bagi yang melakukan pelanggaran hukum berat ya diberi sanksi baik teguran sampai pemberhentian. Kalau tidak mampu mengawasi ya ajak masyarakat untuk berperan dalam pengawasan. Diberikan akses untuk ikut mengawasi. Seharusnya seperti itu,” tandasnya.

Menurut Trubus, permasalahan yang terjadi di rutan maupun lapas bak gunung es yang menjadi ancaman besar dan memerlukan penanganan serius. Sebab, sistem pengawasan yang belum maksimal menjadi kelemahan mencolok.

“Kelemahan dalam pengawasan menjadi problem tersendiri dan dari dulu saya selalu teriak-teriak. Kedua reformasi birokarasi yang belum dibenahi adalah pembenahan internal. Kan sudah ada SOP dan tupoksinya semuanya, prgoram sudah ada ya seharusnya dilaksanakan saja,” terangnya.

Dia juga menilai masih banyak kasus yang terjadi di lapas namun tidak sampai muncul di publik. Dia berharap tidak ada pihak yang terkesan menutup-nutupi kasus yang kerap terjadi di dalam lapas.

“Sekali lagi ini masalah integritas. Kalau memang ada masalah ya ganti saja Dirjen, Kanwil hingga Kalapas sampai sipir diberi sanksi sesuai aturan hukum dan digeser kedudukannya. Bisa ambil contoh insitusi Polri yang selalu merotasi anggotanya. Bisa dibuat semacam SOP tugasnya hanya dua sampai tiga tahun kemudian digeser. Ini akan efektif mencegah adanya sistem 'tahu sama tahu' jika terjadi suatu kasus di lapas maupu rutan,” ujar Trubus.

Selain itu, dosen Fakultas Hukum Universitas Trisakti Jakarta ini menyarankan penguatan dalam aspek transparansi dan pengawasan. Menurut Trubus, pengawasan menggunakan sistem digitalisasi yang bisa diakses publik secara terbuka bisa menjadi solusi agar berbagai kasus hukum yang terjadi di lapas tak lagi muncul.

“Lapas itu kan masyarakat, jadi dalam pengawasan ya harus berkolaborasi dengan berbagai pihak sehingga akan ada masukan dari pakar, LSM, lembaga lain termasuk media. Digitalisasi pengawasan secara terbuka juga penting dilakukan,” tutup Trubus.

Terpisah, Kepala Bagian Humas dan Protokol Ditjen PAS, Rika Aprianti mengatakan bahwa pihaknya selalu melakukan pengawasan dan evaluasi untuk meminimalisir pelanggaran di berbagai lapas. Ditjen PAS, lanjutnya, mempunyai komitmen terkait penyelenggaraan layanan pemasyarakatan. Karena itu, jika ditemukan pelanggaran, Ditjen PAS tak segan akan menjatuhkan sanksi tegas kepada jajarannya.

“Komitmen kita sama dari dulu bahwa apabila terbukti ditemukan adanya pelanggaran dalam penyelenggaraan tata laksana pemasyarakatan, termasuk layanan warga binaan, pasti akan dikenakan sanksi tegas. Semua jajaran pemasyarakatan sudah mengetahui itu,” tuturnya.

Rika menjelaskan Ditjen PAS memiliki tiga Kunci Pemasyarakatan Maju + Back to Basics yang menjadi landasan utama dalam penyelenggaraan Pemasyarakatan menuju Pemasyarakatan Semakin Profesional, Akuntabel, Sinergi, Transparan dan inovatif (PASTI).

Menurutnya, Pemasyarakatan harus berpegang teguh pada 3+1, yaitu tiga Kunci Pemasyarakatan Maju dan Back to Basics. Aspek tiga Kunci Pemasyarakatan Maju yakni dengan melakukan deteksi dini, berperan aktif dalam pemberantasan peredaran narkoba, serta senantiasa membangun sinergi dengan aparat penegak hukum lainnya.

Rika menegaskan, Dirjen PAS Reynhard Silitonga selalu mengingatkan seluruh petugas pemasyarakatan wajib menjunjung tinggi marwah pemasyarakatan dalam rangka mewujudkan pemasyarakatan yang semakin PASTI.

“Ditjen PAS berkomitmen menjaga marwah Pemasyarakatan dengan menjaga integritas, profesional dalam melaksanakan tugas, akuntabel dalam pengelolaan anggaran, sinergi dalam bekerja, transparan memberikan informasi dan layanan kepada publik, dan inovatif mengembangkan sistem untuk membangun kinerja Pemasyarakatan semakin PASTI,” tutup Rika.