Bagikan:

JAKARTA – Olahraga Indonesia ternyata sudah karut-marut sejak pembinaan. Sengketa pemain tidak hanya menghiasi level profesional, tapi juga di akar rumput (grassroot).

Belakangan, mencuat sengketa pemain yang dialami dua klub level pembinaan atau grassroot. Klub Warriors dan AirOne berebut pemain usia dini.

Perseteruan bermula ketika enam pebasket putri Warriors kelahiran tahun 2009 (14-15 tahun) secara resmi mengundurkan diri dari klub pada akhir Juli 2023.

Mereka mengundurkan diri dengan alasan pilihan sendiri. Sebetulnya, mereka merasa ada perkembangan signifikan ketika ditangani pelatihnya, Liana Sihombing.

Namun, sang pelatih memutuskan untuk meninggalkan Warriors. Alhasil, keenam pemain tadi mundur.

Mereka kemudian mencari pelabuhan baru, tempat di mana Liana Sihombing melatih. AirOne akhirnya dipilih sebagai destinasi selanjutnya. Mereka mengikuti jejak sang pelatih yang juga pindah ke sana.

"Putri-putri kami mengundurkan diri karena untuk berlatih dengan coach Liana Sihombing, yang ketika itu sudah resmi pindah ke Airone," ungkap Oktarianto Budhi Kartiko (Rano Budi) yang merupakan perwakilan orang tua.

"Saya dan istri sebagai orang tua harus mendukung pilihan dan keputusan anak saya, semata demi perkembangan dan kemajuan anak saya sendiri," katanya.

Hanya saja, kepindahan mereka menimbulkan sengketa. Warriors enggan mengeluarkan surat keluar keenam pemain tersebut.

Rano Budhi mengungkapkan bahwa sudah tujuh bulan berlalu sejak pengunduran diri secara resmi, pihak Warriors belum mengeluarkan surat keluar walaupun sudah diminta berkali-kali.

Warriors menilai kepindahan tersebut bukan pilihan pemain melainkan perekrutan AirOne ataupun Liana Sihombing.

"Pilihan putri kami untuk keluar dari Warriors dan pindah ke AirOne. Memang benar-benar pilihan mereka, bukan perekrutan dari AirOne ataupun pelatihnya. Murni keputusan mereka (pemain) sendiri."

"Namun, pilihan tersebut justru berpotensi mematikan karier para pebasket putri muda ini."

"Pasalnya, Warriors tidak mengeluarkan surat keluar sebagai syarat untuk putri kami mengikuti rangkaian kejuaraan resmi Perbasi. Bahkan, saat ini pun semua open tournament telah menerapkan syarat adanya surat keluar dari klub asal," tutur Rano Budhi.

Penyelesaian sengketa secara kekeluargaan sudah dilakukan, tapi tak menemui titik temu.

Pihak Warriors melalui coach Rommy Chandra mengklaim bahwa klubnya mengikuti aturan Buku Putih Perbasi, yang mana harus ada penyelesaian atau proses pembayaran oleh klub tujuan, Airone, kepada Warriors sebesar Rp3 juta per anak.

Keputusan Warriors berdasarkan dengan anjuran dari Pengkot Perbasi Jakarta Selatan dan PP Perbasi.

Tak heran, masalah tersebut terus berlanjut dan pemain usia dini yang terlibat sengketa itu tak bisa mengikuti kejuaraan apa pun.

"Setiap orang tua gerilya komunikasi langsung dengan coach Rommy, bahkan ada yang berusaha negosiasi harga dan tak diterima. Warriors hanya ingin AirOne yang membayarkannya dan tetap sebesar Rp3 juta per anak," ucap Rano Budhi.

Penetapan harga untuk perpindahan pemain menjadi pangkal masalah. Bagi Rano Budhi, hal itu tak sesuai. Soalnya, putrinya keluar bukan mengikuti perekrutan dari AirOne, melainkan keinginan sendiri.

Kemudian, tidak ada dokumen ataupun formulir apa pun yang ditandatangani sejak awal bergabung Warriors yang menyatakan perihal regulasi surat keluar tersebut.

"Anak saya masuk AirOne bukan karena diajak ataupun direkrut. Lalu, dulu ketika kami masuk Warriors tidak ada tanda tangan apa pun, tidak ada formulir yang ditandatangani, apalagi soal aturan surat keluar."

"Soal Buku Putih (Perbasi) pun kami tidak tahu dan baru tahu setelah kejadian ini semua. Setiap bulan kami bayar iuran, kejuaraan kami bayar."

"Sekarang, putri-putri kami memilih pindah. Sudah tujuh bulan lebih kami tidak diberi surat keluar, sebelum klub tujuan (AirOne) membayarkan Rp3 juta per anak. Sulit kami untuk tidak berpikir bahwa ini bukanlah bentuk penipuan dan/atau pemerasan," tutur Rano.

Selain melalui jalur kekeluargaan, mediasi juga ditempuh. Para orang tua pemain-pemain tersebut sudah mengadukan kasus kepada Perbasi DKI Jakarta.

Perbasi DKI Jakarta sangat aktif dan bereaksi cepat menanggapi pengaduan dan berinisiatif melakukan mediasi antara pihak Warriors, orang tua, dan pihak AirOne.

Namun, mediasi yang diselenggarakan pada Rabu, 1 November 2023, di kantor Sekretariat PP Perbasi DKI Jakarta, Gelanggang Mahasiswa Soemantri Brodjonegoro, juga tak menghasilkan kejelasan.

Soalnya, mediasi hanya dihadiri oleh Perbasi DKI Jakarta, orang tua, dan pihak AirOne. Pihak Warriors tidak mengindahkan dan menghargai mediasi ini dengan memilih untuk tidak hadir tanpa alasan.

"Kami sungguh sangat kecewa karena mereka (Warriors) tidak hadir pada mediasi tersebut. Berarti, sama sekali tidak punya perasaan apalagi iktikad baik terhadap nasib anak-anak kami."

"Siapalah anak-anak kami ini? Mereka hanya anak-anak yang ingin berlatih dengan baik, punya semangat tinggi untuk giat berlatih. Toh, di klub asal (Warriors), empat dari enam anak ini hampir di tiap kejuaraan selalu masuk grup rolling-an (cadangan)."

"Selebihnya, mereka bermain dengan minute play yang tidak banyak, kecuali satu anak. Namun, mereka punya semangat untuk berkembang yang luar biasa, yang harus kami hargai sebagai orang tua," ujar Rano.

Saking mentoknya penyelesaian sengketa pemain, pihak orang tua keenam pemain usia dini tersebut mengadukan kasus ini ke KPAI (Komisi Perlindungan Anak Indonesia).

Pada laporan ke KPAI menyebut aduan pihak orang tua itu didasari pemenuhan hak anak.

Perinciannya, keenam pebasket belia tersebut terancam hak sipil dan kebebasannya. Dalam laporan, mereka merupakan korban pemenuhan hak berekspresi dan mengeluarkan pendapat serta pemenuhan hak berorganisasi dan berkumpul secara dami.

"Kami tidak tahu harus ke mana lagi. Kami berharap KPAI bisa membantu menyelesaikan permasalahan kami ini. Putri-putri kami sangat sedih dan stres. Sudah banyak kejuaraan yang tidak bisa mereka ikuti, apalagi masih akan ada lagi kejuaraan di depan."

"Kami meyakini masih banyak yang lain, di luar sana, yang senasib dengan kami, yang haknya dihalangi dengan paksa. Ini merusak pembinaan dan pengembangan anak, apalagi pebasket muda."

"Saya percaya kepentingan anak atau pebasket-pebasket muda ini haruslah diutamakan, apalagi di atas kepentingan sempit yang tidak jelas maksudnya, tetapi merusak pembinaan dan mental mereka," kata Rano.

Keenam pebasket muda sudah tidak mengikuti berbagai kejuaraan selama tujuh bulan ke belakang. Mereka hanya berlatih tanpa bisa mencicipi atmosfer pertandingan.

Padahal, dari sisi pembinaan, menit bermain di pertandingan menjadi keharusan buat pemain-pemain muda di level akar rumput.

Mereka kini terancam tidak berkembang. Karier mereka sudah di ujung tanduk meski masih sangat muda.

Kasus seperti ini kerap terjadi di level akar rumput olahraga Indonesia secara umum. Namun, jalan mencari aman menjadi pilihan sehingga tak berani bersuara lantang.