Selamat bergabung dalam Tulisan Seri. Sepekan ke depan, kita akan membahas BDSM (Bondage/Discipline, Dominance/Submission, Sadism dan Machosism). Benarkah BDSM bagian dari penyimpangan seksual? Seperti apa pasangan BDSM menikmati seks jenis ini? Perlukah negara ikut campur mengatur dimensi seks rakyatnya? Ini dia, "Dalam Dimensi Seks BDSM".
RUU Ketahanan Keluarga jadi sorotan. Rancangan perundangan dinilai kebablasan karena menyentuh dimensi paling privat: seks. Salah satu yang termaktub dalam aturan ini adalah larangan melakukan aktivitas seks sadisme dan masokisme yang jadi bagian dari Bondage and Discipline, Sadism and Masochism (BDSM).
BDSM adalah aktivitas seksual yang dalam tindakannya menggunakan fantasi dominasi, sadisme dan masokisme. Biasanya, aktivitas ini dilakukan atas dasar kesepakatan soal batas rasa sakit antar dua pihak. Ingat adegan-adegan seks dalam film Fifthy Shades of Grey?
Larangan soal aktivitas seks sadisme dan masokisme ini diatur lewat RUU Ketahanan Keluarga pasal 85 ayat 1. Dalam pasal ini, sadisme, masokisme disejajarkan dengan homoseks (hubungan pria dengan pria), lesbian (hubungan wanita dengan wanita) dan inses dalam kategori penyimpangan seksual. Adapun bunyi pasal tersebut adalah:
Pasal 85 Ayat (1):
Yang dimaksud dengan "penyimpangan seksual” adalah dorongan dan kepuasan seksual yang ditunjukkan tidak lazim atau dengan cara-cara tidak wajar, meliputi antara lain:
a. Sadisme adalah cara seseorang untuk mendapatkan kepuasan seksual dengan menghukum atau menyakiti lawan jenisnya.
b. Masochisme kebalikan dari sadisme adalah cara seseorang untuk mendapatkan kepuasan seksual melalui hukuman atau penyiksaan dari lawan jenisnya.
c. Homosex (pria dengan pria) dan lesbian (wanita dengan wanita) merupakan masalah identitas sosial dimana seseorang mencintai atau menyenangi orang lain yang jenis kelaminnya sama.
d. Incest adalah hubungan seksual yang terjadi antara orang yang memiliki hubungan darah dalam garis keturunan lurus ke bawah, ke atas, atau menyamping, sepersusuan, hubungan semenda, dan hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku dilarang untuk kawin.
Kami coba menghubungi beberapa pengusul RUU Ketahanan Keluarga untuk mendalami dasar pemikiran mereka. Rancangan perundangan ini diusulkan oleh Sodik Mudhajid dari Fraksi Partai Gerindra, Netty Prasetiyani dan Ledia Hanifa dari Fraksi PKS, Endang Maria Astuti dari Fraksi Partai Golkar, serta Ali Taher dari Fraksi PAN.
Di antara semuanya, tiga orang berhasil kami hubungi. Sayang tak ada jawaban berarti dari Sodik Mudjahid, Ledia Hanifa, atau pun Ali Taher. Salah satu di antara ketiganya menyatakan, saat ini mereka tengah diminta untuk diam, tak boleh memberi pernyataan apapun soal rancangan perundangan tersebut, apalagi kepada media.
Namun, berdasar rilis pers yang dilempar para pengusul RUU Ketahanan Keluarga tersebut, dijelaskan bahwa sadisme, masokisme, homoseksual, lesbian, dan inses merupakan penyimpangan seksual yang membahayakan dan harus diwaspadai. Sayang, rilis itu tak menjelaskan landasan pikiran mereka.
"Sadisme, masokisme, homoseksual, dan inses adalah bentuk-bentuk penyimpangan seksual yang secara umum diketahui membahayakan, melukai fisik dan psikologis, bahkan dapat menyebabkan kematian anggota keluarga," tulis para pengusul dalam rilis yang kami kutip, Jumat, 28 Februari.
Landasan pikiran
Kami mewawancarai seksolog dr.Haekal Anshari, M.Biomed (AAM) terkait pemahaman aktivitas seksual sadisme dan masokisme dalam BDSM. Sadisme, Haekal bilang merupakan cara mendapatkan kepuasan seksual dengan menyakiti lawan atau pasangannya.
Sementara masokisme adalah kebalikannya. Pelaku mencapai kenikmatan dengan cara mendapat penyiksaan dari lawan atau pasangannya. Dia juga menjelaskan, sadisme dan masokisme bisa jadi penyimpangan seksual ketika hanya dinikmati salah satu pasangan di dalam hubungan seksual.
"Tapi bila keduanya bertemu (si sadisme ketemu masokisme) dan melakukan praktik BDSM, maka keduanya tidak lagi dapat dikatakan menyimpang," kata Haekal, dihubungi Rabu, 26 Februari.
Alasan tak bisa dikatakan sebagai penyimpangan karena dalam praktiknya tak ada yang merasa sakit dan tersakiti dalam aktivitas seksual tersebut. Selain itu, kebutuhan dan fantasi seksual mereka pun terpenuhi akibat aktivitas tersebut.
"Kenapa ditambahkan BD (Bondage dan Discipline) karena biasanya mereka menggunakan tali untuk ikatan. Dan ikatan itu untuk merangsang, bukan menyakiti dan mereka punya batasannya," jelas sang seksolog.
Jika para pengusul ini memasukkan pelarangan BDSM karena takut menimbulkan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), Haekal membantahnya. Sebab, BDSM dan KDRT adalah dua hal berbeda. Mengingat pasangan itu punya kesepakatan soal rasa sakit. Lagipula, tak mungkin melihat ke dalam dimensi seks melalui kacamata perundangan yang diatur dalam kehidupan bernegara.
Terkait kesepakatan, hal itu biasanya berisi tentang apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan dalam kegiatan seksual. Seperti apa batasannya, yang tahu hanya pasangan itu sendiri.
"Saat si sadisme dan si masokisme melakukan praktik BDSM, pasangan melakukan berdasarkan persetujuan dan kesepakatan masing-masing pihak. Aktivitas seksual yang dilakukan pun tidak boleh sampai menimbulkan rasa sakit atau bahkan kematian," ungkapnya.
Dikutip dari Psychology Today, peneliti seks Michael Castleman mengatakan, perilaku seksual BDSM sering diasosiasikan dengan kekerasan dan keanehan. Padahal, menurut pria yang menghabiskan waktunya selama 36 tahun untuk meneliti soal seks ini, BDSM merupakan sebuah kepercayaan.
"Ketika kepercayaan mengalahkan kemungkinan bahaya, hasilnya bisa terasa sangat intim dan erotis," jelasnya.
Dalam tulisannya juga dijelaskan, BDSM terdiri dari beberapa istilah, seperti permainan kekuasaan atau penaklukkan-dominasi (dominance dan submission/DS).
Dalam DS, salah seorang pasangan memiliki kendali atas pasangannya. Kemudian ada sado-masochism (sadism dan masochism/SM) yang melibatkan pukulan, cambuk, atau jenis sensasi erotis lainnya. Dan satu lagi adalah perbudakan dan disiplin (bondage dan dicipline/BD) yang melibatkan pengekangan.
Walau dianggap sesat dan tak manusiawi, namun bagi para penggemarnya hal ini justru disebut sebagai bentuk kontak manusia yang paling penuh kasih, memelihara, dan intim. Apalagi, dalam aktivitas BDSM, para pelaku selalu mengatur aturan bermain sebelumnya dengan komunikasi yang jelas dan intim, yang menciptakan ikatan emosional erotis khusus.
Artikel Selanjutnya: Menguji Narasi DPR soal BDSM sebagai Penyimpangan Seksual