Ada banyak alasan menolak larangan BDSM dalam RUU Ketahanan Keluarga. Kita telah membahas banyak hal tentang aktivitas seksual penuh eksplorasi itu. Bahkan, artikel "Mereka yang Melestarikan Sejarah Panjang BDSM" telah menjelaskan sejarah panjang BDSM yang telah lama jadi bagian dari aktivitas persetubuhan manusia. Artikel pamungkas dari Tulisan Seri khas VOI, "Dalam Dimensi BDSM". Kesimpulannya, jelas. RUU Ketahanan Keluarga lahir dari buruknya edukasi seks di negeri ini. Klasik.
Rancangan Undang-Undang (RUU) Ketahanan Keluarga menuai polemik. Beleid tersebut rencananya mengatur aktivitas seksual BDSM. Namun hal itu menjadi permasalahan. Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dinilai gagal nalar mengategorikan BDSM sebagai penyimpangan seksual, setara dengan homoseksual, lesbian, dan inses.
Larangan soal aktivitas seks sadisme dan masokisme diatur lewat RUU Ketahanan Keluarga Pasal 85 Ayat 1. Dalam pasal ini, sadisme, masokisme disejajarkan dengan homoseks (hubungan pria dengan pria), lesbian (hubungan wanita dengan wanita) dan inses dalam kategori penyimpangan seksual. Adapun bunyi pasal tersebut:
Yang dimaksud dengan "penyimpangan seksual” adalah dorongan dan kepuasan seksual yang ditunjukkan tidak lazim atau dengan cara-cara tidak wajar, meliputi antara lain:
a. Sadisme adalah cara seseorang untuk mendapatkan kepuasan seksual dengan menghukum atau menyakiti lawan jenisnya.
b. Masochisme kebalikan dari sadisme adalah cara seseorang untuk mendapatkan kepuasan seksual melalui hukuman atau penyiksaan dari lawan jenisnya.
c. Homosex (pria dengan pria) dan lesbian (wanita dengan wanita) merupakan masalah identitas sosial dimana seseorang mencintai atau menyenangi orang lain yang jenis kelaminnya sama.
d. Incest adalah hubungan seksual yang terjadi antara orang yang memiliki hubungan darah dalam garis keturunan lurus ke bawah, ke atas, atau menyamping, sepersusuan, hubungan semenda, dan hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku dilarang untuk kawin.
Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen ( Formappi) Lucius Karus menilai dasar ilmiah penyusunan RUU Ketahanan Keluarga lemah. Ia bahkan memandang DPR tak memahami perbedaan dalam penyimpangan seksual. "Saya kira perlu memahami betul karakter BDSM maupun LGBTQ sebelum mencoba mengatur hal-hal itu," kata Lucius kepada VOI beberapa waktu lalu.
Lucius juga mempertanyakan RUU Ketahanan Keluarga yang merangsek ke ranah privasi, termasuk aktivitas seksual BDSM. "Apakah itu (BDSM) tepat disebut sebagai pelanggaran atau penyimpangan? Atau ini sebuah pilihan bebas orang-orang yang memang secara seksual menyimpang?"
Buruknya pendidikan seksual
Di Indonesia, diskursus mengenai pendidikan seksual masih tabu untuk diperbincangkan. Bahkan, menurut beberapa analisis, edukasi seksual dalam ranah pendidikan formal pun jauh dari komprehensif. Beberapa hal yang masuk dalam kurikulum masih terbatas pada pemahaman agar tidak melakukan seks supaya terhindar dari penyakit menular seksual (PMS).
Mengutip kajian The Conversation, pendidikan kita hampir tidak menyentuh materi yang fokus pada seksualitas, persetujuan hubungan maupun sentuhan dengan orang lain yang umum disebut consent, serta isu lain yang peka pada perkara gender.
Hal itu diamini Ketua Law and Gender Society (LGS) Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada Sri Wiyanti. Menurutnya, perjuangan untuk mewujudkan kurikulum formal pendidikan seks masih jauh dari panggang api.
“Di level penentu kebijakan masih belum berani karena masih terbawa wacana dari kelompok tertentu yang cuma melihat pendidikan seks sebagai isu moral dan bukan sebagai kebutuhan”, kata Sri kepada The Conversation.
Sejalan dengan itu, peneliti senior di Pusat Kajian dan Advokasi Perlindungan dan Kualitas Hidup Anak (PUSKAPA) Universitas Indonesia Ni Luh Putu Maitra Agastya menekankan pentingnya pendekatan seksualitas berbasis hak asasi manusia karena menempatkan consent dan etika berhubungan dengan orang lain sebagai fondasi kurikulum.
“Yang harus menjadi fokus adalah bagaimana memberdayakan dan menyiapkan anak dan anak muda untuk menjadi orang dewasa yang bertanggung jawab, yang dapat membuat keputusan secara mandiri, bukan untuk ‘mensterilkan’ mereka dari perilaku berisiko”, jelasnya.
Bagaimana idealnya?
Melengkapi, seksolog Haekal Anshari sepakat pemerintah harusnya sudah mulai memasukkan pendidikan seksual dalam kurikulum sekolah. Menurutnya, selain sekolah, elemen penting yang wajib menjalankan edukasi seksual adalah keluarga. Menurutnya, sejak dini harusnya anak sudah mulai diedukasi.
"Dan sekolah harus mendidik serta menyiapkan para tenaga pendidiknya ... Paling tidak saat anak berusia dua atau tiga tahun," kata Haekal kepada VOI.
Kurangnya edukasi seks dari lembaga pendidikan resmi akhirnya mendorong banyak anak mencari tahu sendiri hal-hal tentang seks. Hal ini tentu berisiko. Tanpa pendampingan, anak berpotensi terpapar pengetahuan menyesatkan tentang seks.
"Intinya adalah mendidik dan menyiapkan generasi penerus untuk bertanggung jawab terhadap kesehatan reproduksi dan fungsi seksualnya sehingga tidak merugikan dirinya maupun pihak lain," katanya.
Ikuti Tulisan Seri edisi ini: Dalam Dimensi BDSM