JAKARTA - Di tengah pandemi coronavirus atau COVID-19 seharusnya platform video on demand laris manis karena banyak masyarakat yang memilih untuk di rumah saja. Namun, kabar buruk sedang menimpa Iflix.
Diwartakan Nikkei Asia, Senin 15 Juni, dijuluki Netflix Asia Tenggara, Iflix harus berkecil hati karena tidak bisa lagi bertahan dari gempuran dampak ekonomi dari COVID-19. Perusahaan tersebut dikabarkan terancam bangkrut karena terus merugi dan banyaknya utang yang menggunung.
Diketahui pada 2018 seperti yang dilaporkan Deal Street Asia, perusahaan yang berbasis di Malaysia itu mencatat rugi 158,1 juta dolar Amerika Serikat (AS). Hal ini disebabkan karena aksi bakar uangnya yang mencapai 25,5 juta dolar AS, yang menghasilkan hutang sekira 68,6 juta dolar AS.
Namun, pada September 2019, Iflix telah memperkirakan uang perusahaannya hanya akan bertahan hingga 30 November 2019. Sementara saat itu, cadangan kas Iflix hanya tersisa 12,7 juta dolar AS.
Hingga saat ini, Iflix belum pernah mengumumkan soal pendanaan tambahan, tetapi perusahaan berencana IPO pada 31 Juli 2020 sebanyak 47,5 juta dolar AS, tetapi tidak ada kabar kelanjutannya. Maka dari itu, Iflix mengumumkan akan menjual platformnya pada investor guna menutup utang-piutang. Calon pengakuisisi diyakini termasuk perusahaan yang berbasis di China.
Sebelum ini, Iflix juga telah ditinggalkan Patrick Grove, yang merupakan petinggi Iflix dari 2019 dan mengundurkan diri dari dewan pada 9 April lalu. Begitupun Luke Elliott, salah satu pendiri Iflix, juga mengundurkan diri dari dewan perusahaan pada hari yang sama.
Grove dan Elliott juga merupakan pendiri Catcha Group, pemegang saham utama pada platform Iflix. Dua direktur Iflix lainnya pun turut mengundurkan diri pada 9 April lalu yakni David Nairn dan Mark Andrew Licciardo.
Begitupun dengan para karyawannya, pada bulan yang sama platform tersebut juga memberhentikan sejumlah staf akibat ketidakpastian ekonomi di tengah pandemi COVID-19.
"Industri ini tidak kebal terhadap keadaan yang belum pernah terjadi sebelumnya. Keputusan kami untuk mengurangi jumlah karyawan perusahaan datang setelah pertimbangan yang cermat dan dalam hubungannya dengan langkah-langkah pemotongan biaya lainnya, untuk memungkinkan perusahaan untuk bertahan dalam periode yang tidak terbatas dan tidak pasti ini," ungkap pihak Iflix.
BACA JUGA:
Sebelumnya diwartakan, nasib yang sama pun turut dialami platform video on demand HOOQ beberapa waktu lalu. Layanan milik Singtel ini hanya berusia lima tahun. Padahal investor di belakang Hooq sangat mengesankan. Dari Singtel (Raja telekomunikasi Singapura), Warner Bros Entertaiment hingga Sony Pictures.
Pemegang saham HOOQ memutuskan untuk gulung tikar karena bisnis tidak dapat bertumbuh dengan baik seperti pesaingnya Netflix, sehingga tidak bisa untuk menutupi biaya operasional.
"Sejak perusahaan ini berdiri, lima tahun lalu, terjadi perubahan struktural siginifikan di pasar video over-the-top (OTT) dan lanskap kompetisinya," jelas HOOQ dalam pernyataan resminya belum lama ini.