JAKARTA – Rabu 14 Juli, Singapura, meluncurkan salah satu pembangkit listrik tenaga surya terapung terbesar di dunia. Pembangkit itu meliputi area seluas 45 kali lapangan sepak bola. Pembangkit ini, sebagai bagian dari upaya negara kota itu untuk mengurangi emisi gas rumah kaca.
Proyek ini adalah yang bagian dari proyek paling ambisius di negara itu, yang terdiri dari 122.000 panel di Waduk Tengeh yang akan menghasilkan listrik yang cukup untuk menjalankan lima pabrik pengolahan airnya.
Singapura adalah salah satu negara penghasil karbondioksida per kapita terbesar di Asia dan kelangkaan lahannya membuat peningkatan sumber energi terbarukan menjadi tantangan.
Sebagai pusat keuangan yang makmur, Singapura telah berniat untuk mendirikan pembangkit di lepas pantai dan di waduk, yang bertujuan untuk melipatgandakan produksi energi surya pada tahun 2025. Proyek ini sempat diperkenalkan pada Menteri Perekonomian RI, Airlangga Hartarto saat berkunjung ke Singapura 12-13 Juli.
BACA JUGA:
Menurut Sembcorp Industries dan badan air nasional PUB, pembangkit baru ini dapat menghasilkan hingga 60 megawatt listrik, dan akan mengarah pada pengurangan emisi karbon yang setara dengan menghilangkan 7.000 mobil dari jalan.
Sembcorp membangun proyek, yang mencakup sekitar 45 hektar (110 hektar). "Energi surya berlimpah, bersih dan hijau, dan merupakan kunci untuk mengurangi jejak karbon PUB dan juga Singapura," kata kepala eksekutif badan air, Ng Joo Hee.
Singapura juga telah membangun ladang tenaga surya di Selat Johor, yang memisahkan negara pulau itu dengan Malaysia. Mereka juga berniat untuk melakukan penghijauan di daerah tersebut dengan penanaman pohon.
Pemerintah Singapura pada Februari meluncurkan "rencana hijau" yang mencakup langkah-langkah seperti menanam pohon, mengurangi limbah yang dikirim ke tempat pembuangan sampah, dan membangun lebih banyak titik pengisian daya untuk mendorong penggunaan mobil listrik, yang ramah lingkungan.
Singapura telah berjanji untuk mencapai emisi bersih nol, pada paruh kedua abad ini. Namun, para kritikus mengatakan tujuan negara-kota itu masih jauh berada di belakang negara-negara maju lainnya, dan belum cukup jauh untuk mencapai ambisi lingkungannya.