JAKARTA - Peristiwa yang merugikan kembali terjadi. Twitter gagal mengendalikan super-spreader dari kesalahan inforomasi (disinformasi) terkait wabah COVID-19 pada platformnya. Disinformasi ini diduga telah dibagikan ke 3 juta pengguna Twitter.
Menurut laporan Engadget yang berasal dari NewsGuard, Jumat 8 Mei, puluhan unggahan disinformasi menyoal COVID-19 tersebut berasal dari akun yang telah diverivikasi dan memiliki lebih dari 100.000 pengikut. Beberapa di antaranya bahkan telah memiliki 3 juta followers.
Tidak sedikit postingan dari akun-akun tersebut, mentweet informasi yang salah tentang perawatan atau penyembuhan yang belum diketahui pasti kebenarannya. Bahkan, ditemukan juga banyak postingan yang menggembar-gemborkan teori konspirasi seperti menghubungkan teknologi 5G dengan virus corona, walaupun dalam kebanyakan kasus ini tidak melanggar aturan Twitter.
"Kami memprioritaskan penghapusan konten ketika memiliki panggilan untuk bertindak yang berpotensi menyebabkan kerusakan. Seperti yang telah kami katakan sebelumnya, kami tidak akan mengambil tindakan penegakan hukum pada setiap Tweet yang berisi informasi yang tidak lengkap atau diperdebatkan tentang COVID-19," ungkap juru bicara Twitter.
BACA JUGA:
Selain Twitter, jejaring media sosial Facebook dan YouTube semuanya telah memperkenalkan kebijakan baru untuk menekan penyebaran kabar palsu dan disinformasi terkait COVID-19. Pasalnya informasi tersebut seringkali menyebabkan kepanikan di tengah penanganan karantina pandemi corona.
Twitter tentunya diminta untuk berjuang mengekang informasi kesehatan palsu yang menurut para ahli diklaim membahayakan jiwa. Karena sebagian dari informasi tersebut, banyak yang menyebarkan bagaimana membuat vaksin untuk mengobati COVID-19.
Kicauan-kicauan viral ini pun banyak mendapat kritikan dari penggiat medis dan ahli kesehatan. Mereka meminta agar perusahaan media sosial, tak memberikan ruang untuk konten-konten disinformasi tersebar dengan luas begitu saja.
"Kami menyerukan kepada para raksasa teknologi untuk segera mengambil tindakan sistemik untuk membendung aliran informasi kesehatan yang salah, dan krisis kesehatan masyarakat yang dipicu," ungkap isi surat tersebut.
Mereka juga mendesak platform media sosial untuk menurunkan konten semacam itu dalam feed pengguna dan menyediakan alat pengkoreksi untuk pengguna yang telah melihat kesalahan yang berbahaya.
Sebelumnya, Facebook juga pernah dikritik karena banyak menyebarluaskan informasi yang salah pada platformnya. Menurut catatan dari lembaga pemeriksa fakta Universitas Oxford, menemukan 60 persen informasi yang beredar di media sosial adalah palsu dan salah.
Beberapa kabar yang beredar di Twitter, menyampaikan sebuah studi palsu dengan mengklaim bahwa hydroxychloroquine memiliki tingkat keberhasilan 100 persen sebagai pengobatan COVID-19. Tak hanya itu, penggunaan klorin dioksida, akar licorice, dan Zinc juga dianggap sebagai obat mujarab untuk menyembuhkan virus.