JAKARTA – Sebuah pengadilan banding federal di Amerika Serikat pada Jumat 6 Desember menguatkan undang-undang yang mewajibkan perusahaan induk TikTok yang berbasis di China, ByteDance, untuk mendivestasi aset TikTok di AS paling lambat Januari 2024. Jika tidak, aplikasi video pendek populer tersebut akan menghadapi larangan penuh.
Keputusan ini menjadi kemenangan besar bagi Departemen Kehakiman AS (DOJ) dan para penentang aplikasi milik China, sekaligus pukulan telak bagi ByteDance. TikTok yang digunakan oleh sekitar 170 juta pengguna di AS kini menghadapi ancaman pelarangan hanya dalam waktu enam minggu.
CEO TikTok, Shou Zi Chew, menyatakan bahwa perusahaan akan mengajukan banding atas keputusan ini ke Mahkamah Agung. “Meskipun keputusan hari ini mengecewakan, kami akan terus berjuang untuk melindungi kebebasan berbicara di platform kami,” kata Chew.
Pandangan Hakim dan Implikasi Hukum
Dalam opini mayoritas yang ditulis oleh Hakim Douglas Ginsburg, yang didukung oleh Hakim Neomi Rao, pengadilan menekankan urgensi undang-undang ini. “Upaya bertahun-tahun dari kedua cabang politik untuk menyelidiki risiko keamanan nasional yang ditimbulkan oleh platform TikTok, dan mempertimbangkan solusi yang diajukan oleh TikTok, memberikan bobot besar pada perlunya undang-undang ini,” kata Ginsburg.
Hakim Ginsburg lebih lanjut menambahkan:
- "Mengingat kekhawatiran Pemerintah yang sangat didukung tentang ByteDance, adalah penting bagi undang-undang ini untuk berlaku untuk semua entitas ByteDance."
- "Undang-undang ini merupakan hasil dari tindakan bipartisan yang luas oleh Kongres dan presiden-presiden berturut-turut. Ini dirancang secara hati-hati untuk hanya menangani kendali oleh musuh asing dan merupakan bagian dari upaya yang lebih luas untuk melawan ancaman keamanan nasional yang terdokumentasi dengan baik yang ditimbulkan oleh RRC."
- "Amandemen Pertama melindungi kebebasan berbicara di Amerika Serikat. Dalam kasus ini, Pemerintah bertindak semata-mata untuk melindungi kebebasan itu dari negara musuh asing dan membatasi kemampuan musuh tersebut untuk mengumpulkan data tentang orang-orang di Amerika Serikat."
Hakim Ginsburg juga mencatat dampak besar keputusan ini terhadap pengguna TikTok di AS. “Konsekuensinya, jutaan pengguna TikTok perlu mencari media komunikasi alternatif. Beban ini disebabkan oleh ancaman komersial hibrida RRC terhadap keamanan nasional AS, bukan oleh Pemerintah AS, yang telah terlibat dengan TikTok melalui proses bertahun-tahun untuk mencari solusi alternatif.”
Hakim Neomi Rao dalam pendapat pendukungnya menyoroti dampak yang luas dari keputusan ini. "170 juta orang Amerika menggunakan TikTok untuk menciptakan dan mengakses berbagai bentuk ekspresi bebas serta berinteraksi satu sama lain dan dunia. Namun, justru karena jangkauan platform yang luas ini, Kongres dan beberapa Presiden menentukan bahwa divestasi dari kendali China sangat penting untuk melindungi keamanan nasional kita," kata Rao.
BACA JUGA:
TikTok di Ambang Larangan
Keputusan pengadilan menetapkan bahwa TikTok harus melakukan divestasi sebelum 19 Januari 2024. Jika tenggat waktu tidak terpenuhi, Presiden AS Joe Biden memiliki wewenang untuk memberikan perpanjangan 90 hari berdasarkan kemajuan divestasi. Namun, jika tidak ada perubahan, TikTok akan dilarang sementara waktu di Amerika Serikat.
“Keputusan ini memiliki implikasi besar bagi TikTok dan penggunanya. Kecuali TikTok mengeksekusi divestasi yang memenuhi syarat sebelum 19 Januari 2025, atau Presiden memberikan perpanjangan 90 hari berdasarkan kemajuan menuju divestasi yang memenuhi syarat, platformnya tidak akan tersedia di Amerika Serikat, setidaknya untuk sementara waktu,” tulis Ginsburg.
Keputusan ini menjadi langkah signifikan dalam upaya AS membatasi ancaman keamanan nasional yang dikaitkan dengan China, tetapi juga menimbulkan tantangan besar bagi kebebasan berekspresi jutaan pengguna di platform tersebut. TikTok kini berpacu dengan waktu untuk menghindari larangan penuh yang dapat mengguncang lanskap media sosial di Amerika Serikat.