Bagikan:

JAKARTA – Google masih berkomitmen dalam mencapai targetnya, yakni menggunakan energi bebas karbon setiap hari pada tahun 2030. Selama melakukan dekarbonisasi, Google menghadapi sejumlah tantangan.

Di Asia Pasifik, tempat yang dapat dijadikan sumber daya energi bersih sangat terbatas, seperti di Jepang dan Singapura. Meski lahannya tidak seluas kawasan lainnya, Google menyadari bahwa peluang kemitraan di wilayah Asia Pasifik sangat tinggi. 

"Di sini (Asia Pasifik), kami melihat peluang untuk bekerja sama dengan mitra guna mengembangkan jaringan ratusan pembangkit listrik tenaga surya skala kecil di lahan yang tersedia di beberapa prefektur," ungkap Google. 

Jika proyek tenaga surya dengan skala kecil ini dikumpulkan, energi yang terbentuk dapat mendukung pusat data, wilayah cloud, dan operasi kantor Google. Struktur seperti ini sering dihadapi di berbagai pasar Asia sehingga output listrik tahunannya bisa sangat besar. 

Maka dari itu, Google bermitra dengan penyedia pembangkit listrik biomassa untuk membeli listriknya. Teknologi ini menggunakan bahan bakar dari limbah rumah tangga yang dilengkapi dengan teknologi percontohan untuk menangkap dan menggunakan karbon dioksida. 

"Di wilayah dengan keterbatasan lahan, memastikan produktivitas pembangkitan energi yang tinggi sangatlah penting. Output listrik tahunan dari proyek ini kira-kira enam kali lipat dari proyek tenaga surya berukuran serupa di Singapura, menghasilkan lebih banyak listrik dengan ruang yang lebih sedikit," jelas Google. 

Google menambahkan bahwa mereka tidak akan bisa mencapai target Carbon Free Energy (CFE) 24/7 tanpa bantuan mitra. Selain mengurangi emisi tidak langsung dari rantai nilai perusahaan, Google juga membantu produsen semikonduktor untuk memajukan tujuan keberlanjutan mereka.