JAKARTA - Menjelang pemilihan Presiden Amerika Serikat yang akan berlangsung pada 5 November, sentimen di pasar kripto menunjukkan perbedaan mencolok antara dua aset digital terbesar, yakni Bitcoin (BTC) dan Ether (ETH). Dengan semakin kuatnya posisi Donald Trump, calon dari Partai Republik, dibandingkan Kamala Harris dari Partai Demokrat di pasar prediksi, pergerakan politik ini tampaknya mempengaruhi perilaku investor secara berbeda terhadap kedua aset tersebut.
Saat ini, Ether menghadapi tekanan bearish yang lebih besar dibandingkan Bitcoin. Data terbaru dari Amberdata dan Deribit mengungkapkan bahwa "25-delta risk reversals" Ether, indikator yang mengukur premi opsi jual dibandingkan opsi beli, menunjukkan angka yang lebih dalam di wilayah negatif dibandingkan Bitcoin. Ini menjadi tanda bahwa pelaku pasar lebih cemas terhadap penurunan harga Ether dalam waktu dekat.
BACA JUGA:
Ethereum Malah Lesu
Dalam perdagangan opsi, risk reversal digunakan untuk mengukur sentimen pasar serta sebagai instrumen lindung nilai. Semakin negatif angka risk reversal, semakin besar premi yang dibayar oleh pedagang untuk melindungi diri dari potensi penurunan harga. Untuk Ether, opsi yang akan berakhir pada 11 Oktober mencatat angka risk reversal -7,3%, sementara Bitcoin berada di -5,8%.
Dengan prediksi Trump unggul 12% atas Harris, Ether menghadapi tekanan bearish sebesar 7%. Harga Ether saat ini diperdagangkan di angka 2.415 dolar AS (sekitar Rp36,2 juta), mencatat kenaikan 1,30% dalam 24 jam terakhir. Namun, data dari CoinMarketCap menunjukkan mayoritas komunitas kripto, yakni 67%, masih bearish terhadap Ether, sementara hanya 33% yang memiliki pandangan bullish.
Saat penulisan, harga Bitcoin naik tipis 0,5% diperdagangkan di level Rp956 jutaan. Sementara Ethereum berada di level Rp37 jutaan, turut naik 1,5% dalam 24 jam terakhir pada Jumat 11 Oktober.