JAKARTA – Pengadilan Kenya memutuskan bahwa perusahaan induk Facebook, Meta, dapat digugat di negara tersebut terkait pemecatan puluhan moderator konten yang dipekerjakan oleh perusahaan kontraktor. Keputusan ini menyusul gugatan yang diajukan para moderator konten yang bekerja untuk Sama, sebuah perusahaan berbasis di Kenya yang dikontrak oleh Meta untuk memoderasi konten di Facebook.
Para moderator mengklaim bahwa mereka dipecat setelah mencoba membentuk serikat pekerja dan kemudian dilarang melamar pekerjaan di perusahaan kontraktor baru, Majorel, setelah Meta mengganti mitra kontraktornya.
Kasus ini dimulai tahun lalu ketika para moderator konten menggugat Meta dan dua kontraktor atas pemecatan mereka dari Sama. Mereka mengatakan bahwa upaya mereka untuk mengorganisir serikat pekerja adalah alasan di balik pemecatan tersebut.
Setelah dipecat, mereka juga mengklaim bahwa mereka masuk daftar hitam, sehingga tidak dapat melamar posisi serupa di Majorel, perusahaan kontraktor baru yang ditunjuk oleh Meta untuk menggantikan Sama.
Upaya penyelesaian di luar pengadilan antara para moderator dan Meta telah gagal pada Oktober tahun lalu, yang kemudian berujung pada proses hukum. Kasus ini dianggap memiliki implikasi besar bagi cara Meta bekerja sama dengan para moderator konten di seluruh dunia, terutama dalam hal perlindungan hak-hak pekerja dan kondisi kerja.
Pada putusan yang diumumkan Jumat, 20 September, Pengadilan Banding Kenya memperkuat putusan sebelumnya dari Pengadilan Ketenagakerjaan pada April 2023 yang menyatakan bahwa Meta dapat diadili atas kasus pemecatan ini.
Meta sebelumnya telah mengajukan banding atas putusan tersebut, namun Pengadilan Banding menolak banding tersebut. Selain itu, pengadilan juga mengukuhkan keputusan terpisah pada Februari 2023 yang menyatakan bahwa Meta dapat digugat di Kenya atas dugaan kondisi kerja yang buruk, yang juga telah diajukan banding oleh Meta.
Dalam putusan mereka, para hakim menyatakan bahwa "kesimpulan dari temuan kami adalah bahwa banding yang diajukan oleh Meta tidak memiliki dasar, dan kedua banding tersebut dengan ini ditolak dengan biaya yang ditanggung oleh pihak tergugat."
Hingga saat ini, Meta dan Majorel belum memberikan tanggapan terkait putusan tersebut, sementara Sama mengatakan bahwa mereka sedang meninjau keputusan pengadilan dan akan segera memberikan pernyataan resmi.
Menanggapi keputusan pengadilan, Mercy Mutemi, pengacara yang mewakili para moderator konten, mengatakan bahwa putusan ini menjadi peringatan bagi perusahaan teknologi besar lainnya untuk lebih memperhatikan pelanggaran hak asasi manusia yang mungkin terjadi dalam rantai pasokan mereka.
BACA JUGA:
"Meta digugat di Kenya adalah wake-up call bagi semua perusahaan teknologi besar untuk memperhatikan pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi di sepanjang rantai pasokan mereka," ujar Mutemi.
Foxglove, sebuah kelompok advokasi hak teknologi asal Inggris yang mendukung kasus ini, juga menyatakan kegembiraannya atas keputusan tersebut. "Kami sangat senang bahwa hambatan-hambatan akhirnya teratasi, dan kami akan mendukung 185 kontraktor ini di setiap langkah menuju persidangan," kata Direktur Foxglove, Martha Dark.
Meta sebelumnya telah menanggapi tuduhan terkait kondisi kerja yang buruk di Kenya dengan menyatakan bahwa pihaknya mewajibkan mitra-mitra kontraktornya untuk menyediakan kondisi kerja yang sesuai dengan standar industri. Majorel, di sisi lain, menyatakan bahwa mereka tidak memberikan komentar terkait litigasi yang sedang berlangsung atau yang aktif.
Keputusan ini dipandang sebagai langkah penting dalam memastikan bahwa perusahaan-perusahaan teknologi besar, seperti Meta, bertanggung jawab atas tindakan yang mereka lakukan terhadap pekerja mereka di seluruh dunia, termasuk dalam hal perlindungan hak-hak buruh dan kondisi kerja yang layak.