Departemen Kehakiman AS Menuduh Tujuh Warga China atas Serangan Siber
Logo Departmen Kehakiman AS (foto: x @TheJusticeDept)

Bagikan:

JAKARTA - Departemen Kehakiman Amerika Serikat (AS) pada Senin 25 Maret, mengungkapkan dakwaan terhadap tujuh warga China atas keterlibatan mereka dalam kelompok peretasan yang telah menargetkan kritikus AS dan luar negeri, jurnalis, bisnis, dan pejabat politik selama lebih dari 14 tahun.

Para terdakwa, yang termasuk Ni Gaobin, Weng Ming, Cheng Feng, Peng Yaowen, Sun Xiaohui, Xiong Wang, dan Zhao Guangzong, didakwa melakukan konspirasi untuk melakukan intrusi komputer dan konspirasi untuk melakukan penipuan kawat. Mereka terkait dengan kelompok ancaman yang didukung oleh negara yang dikenal sebagai APT31 atau juga dikenal sebagai Altaire, Bronze Vinewood, Judgement Panda, dan Violet Typhoon.

Kelompok peretasan ini, yang aktif sejak setidaknya tahun 2010, telah bertanggung jawab atas serangkaian serangan yang bertujuan untuk memajukan agenda mata-mata ekonomi dan intelijen luar negeri China. Mereka dituduh melakukan berbagai tindakan, mulai dari menguji dan memanfaatkan perangkat lunak berbahaya hingga melakukan surveilans terhadap entitas AS tertentu.

Ni Gaobin dan Zhao Guangzong juga dituduh terkait dengan Perusahaan Sains dan Teknologi Wuhan Xiaoruizhi, Limited (Wuhan XRZ), yang diduga telah melakukan beberapa operasi siber berbahaya atas nama Kementerian Keamanan Negara (MSS) China.

Selain itu, AS dan Inggris telah mengumumkan hadiah hingga 10 juta dolar AS (Rp157 miliar) untuk informasi yang dapat menyebabkan identifikasi atau penangkapan individu yang terkait dengan APT31. Kedua negara juga memberlakukan sanksi terhadap Gaobin, Guangzong, dan Wuhan XRZ atas bahaya keamanan nasional yang ditimbulkan dan penargetan terhadap anggota parlemen di seluruh dunia.

Tuduhan ini muncul setelah pemerintah Inggris menuding APT31 atas "kampanye siber yang berbahaya" yang ditujukan kepada Komisi Pemilihan Inggris dan para politisi. Pelanggaran terhadap Komisi Pemilihan mengakibatkan akses tidak sah ke data pemilih sebanyak 40 juta orang.

Sementara itu, China menolak tuduhan tersebut dan menyebutnya sebagai "pemalsuan yang benar-benar tidak berdasar" serta "fitnah yang jahat". China menegaskan bahwa penelusuran asal-usul serangan siber adalah hal yang sangat kompleks dan sensitif, dan menyerukan agar pihak-pihak terkait menghentikan penyebaran disinformasi.

Dakwaan ini mengungkapkan tingkat seriusnya ancaman siber yang dihadapi oleh negara-negara di seluruh dunia dan menyoroti pentingnya kerjasama internasional untuk melawan kejahatan dunia maya.