Bagikan:

JAKARTA - John Reed Stark, mantan pejabat Komisi Sekuritas dan Bursa Amerika Serikat (SEC), baru-baru ini mengekspresikan pandangannya tentang alasan di balik kenaikan harga Bitcoin dalam satu pekan terakhir.

Dalam sebuah postingan panjang di platform media sosial X, Stark, yang kini menjabat sebagai presiden John Reed Stark Consulting, mengungkapkan bahwa kenaikan harga Bitcoin terjadi karena tidak ada pengawasan regulasi yang mencegah manipulasi pasar dan karena orang dapat menjual kripto yang sedang hype kepada 'korbannya'.

"Harga kripto naik karena dua alasan: Pertama, karena tidak ada pengawasan regulasi untuk mencegah manipulasi pasar, dan kedua, karena orang dapat menjual kripto yang hype, disebabkan oleh FOMO (Fear of Missing Out), dan dihargai terlalu tinggi untuk 'korbannya,' apakah benar atau tidak kripto tersebut dihargai terlalu tinggi," ujar Stark.

Di sisi lain, meski Stark skeptis terhadap Bitcoin dan cryptocurrency, banyak investor dan lembaga besar yang semakin merangkul kripto, terutama Bitcoin. Misalnya, Microstrategy, perusahaan intelijen perangkat lunak, baru-baru ini mengungkapkan bahwa kepemilikannya terhadap Bitcoin telah melonjak menjadi 174.530 Bitcoin, menghasilkan keuntungan sebesar 1,6 miliar dolar AS.

Paul Tudor Jones, legenda investasi, telah menjadi pendukung Bitcoin, memprediksi pada Oktober bahwa harganya akan melampaui level saat ini. Stan Druckenmiller, miliarder pengelola hedge fund terkenal, mengakui bahwa dia seharusnya memiliki Bitcoin, meski saat ini tidak punya satu koin pun.

Tidak hanya itu, Standard Chartered Bank telah memperbarui pandangannya terhadap Bitcoin, menyatakan bahwa harga Bitcoin bisa mencapai 100.000 dolar AS (Rp1,5 miliar) lebih cepat dari perkiraan awal. Larry Fink, CEO Blackrock, menggambarkan minat yang berkembang terhadap kripto, menyatakan pada Oktober bahwa dia melihat permintaan global dan minat terpendam dalam cryptocurrency.