Bagikan:

JAKARTA - Volume transaksi perdagangan aset kripto di Indonesia menurun selama satu tahun terakhir. Per September 2023, jumlah transaksi aset kripto Indonesia hanya mencapai Rp94,4 triliun, dari Rp306,4 triliun tahun lalu. 

Menanggapi penurunan ini, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) baru-baru ini mengungkapkan bahwa tingginya pajak menjadi salah satu penyebab di balik penurunan volume transaksi aset kripto.

Robby selaku Chief Compliance Officer (CCO) Reku sekaligus Ketua Umum Aspakrindo-ABI mengatakan pelaku usaha sudah memproyeksi adanya penurunan tersebut.

“Sebagai pelaku exchange, kami sudah menerima keluhan dari pengguna atas penerapan pajak sejak satu tahun lalu. Sehingga hal ini pun mendorong investor aset kripto beralih ke platform exchange di luar negeri," kata Robby dalam pernyataan resminya yang diterima. 

Menurutnya, hal yang patut menjadi perhatian bersama adalah, di mana platform exchange global yang menjadi sasaran investor kripto belum memiliki lisensi di Indonesia.

"Ini dapat berdampak negatif bukan hanya bagi pelaku usaha, namun juga investor dan ekosistem kripto secara keseluruhan juga,” ungkap Robby lebih lanjut. 

Robby melanjutkan, saat ini penerapan pajak di Indonesia terbilang besar dibandingkan dengan negara lainnya, yakni PPN final yang dipungut dan disetor sebesar 1 persen dari tarif PPN umum atau sebesar 0,11 persen. 

“Tingginya beban yang ditanggung oleh investor ini mengakibatkan capital outflow yang signifikan atau dikhawatirkan, transaksi tidak lagi terjadi di Indonesia tapi di global," tuturny. 

Pelaku usaha yang tergabung dalam Aspakrindo-ABI berpendapat perlu dan siap dilibatkan untuk melanjutkan diskusi lebih lanjut mengenai pajak dan keberadaan exchange ilegal dengan pemangku kepentingan yang lainnya.