JAKARTA - Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti) melanjutkan pembahasan evaluasi pajak kripto dengan melibatkan berbagai pemangku kepentingan (stakeholder), termasuk Asosiasi Pedagang Aset Kripto Indonesia (Aspakrindo).
Kepala Biro Pembinaan dan Pengembangan Perdagangan Berjangka Komoditi Bappebti Tirta Karma Senjaya mengatakan, pembahasan secara internal akan dilakukan setelah adanya tanggapan dari pihak Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan terkait evaluasi pajak kripto.
“Ada (pembahasan), kita nanti (membahas) dengan Pak Robby, Ketua Aspakrindo nanti supaya satu suara. Kemarin juga kan sudah dibicarakan di berita, Ditjen Pajak sudah menanggapi ya, kemarin mereka siap untuk bicara. Kalau begini kan, mereka sudah (memberikan) lampu hijau, kita juga enak ya masuknya seperti itu,” kata Tirta dikutip dari ANTARA, Kamis, 14 Maret.
Tirta menilai, pengenaan pajak terhadap aset kripto perlu dievaluasi ulang mengingat industri kripto di Indonesia saat ini masih tergolong baru. Industri yang masih baru tersebut seharusnya diberi ruang untuk bertumbuh.
Dalam pembahasan nanti, rencananya Bappebti akan mempertimbangkan untuk mengusulkan nilai pajak setengah dari pajak kripto yang berlaku saat ini.
"Sebelum ditetapkan itu (pajak kripto) kan, dulu usulan dari kita sebenarnya setengahnya ya, mungkin ada yang pernah mencatat usulan itu, jadi itu setengahnya. Jadi 0,05 (persen) dan 0,055 (persen),” ujar Tirta.
Pemerintah resmi menetapkan pajak untuk aset kripto melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Republik Indonesia Nomor 68/PMK.03/2022 yang berlaku sejak 1 Mei 2022.
PMK tersebut mengatur tentang Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penghasilan (PPh) atas transaksi perdagangan aset kripto.
PPh untuk penjual aset kripto tercatat sebesar 0,1 persen dari nilai transaksi, dan PPN yang dikenakan sebesar 0,11 persen dari nilai transaksi.
Sementara itu, bagi yang belum terdaftar di Bappebti, pungutan pajaknya lebih tinggi yakni PPh 0,2 persen dan PPN sebesar 0,22 persen.
BACA JUGA:
Tirta juga menyampaikan, pajak yang dikenakan dalam industri kripto di Indonesia akan turut berdampak terhadap nilai transaksi kripto di dalam negeri.
Pasalnya, dengan penetapan PPn dan PPh terhadap transaksi kripto mengakibatkan banyak para nasabah yang bertransaksi kripto di luar negeri.
“Kalau dikenakan (pajak) langsung besar, industri kripto Indonesia masih embrio. Secara keseluruhan industri kripto masih baru. Industri yang masih baru perlu diberi ruang untuk bertumbuh,” kata Tirta.
Untuk itu, bertepatan dengan proses peralihan pengawasan aset kripto dari Bappebti ke Otoritas Jasa Keuangan (OJK), maka diharapkan juga menjadi momentum evaluasi untuk aturan pajak aset kripto.