Bagikan:

JAKARTA - Seorang pejabat senior Gedung Putih mengumumkan bahwa empat puluh negara dalam sebuah aliansi yang dipimpin oleh AS berencana untuk menandatangani sumpah untuk tidak pernah membayar tebusan kepada para penjahat siber. Mereka juga sepakat  untuk bekerja  menghilangkan mekanisme pendanaan para peretas.

Inisiatif International Counter Ransomware,  diluncurkan Selasa 31 Oktober seiring dengan meningkatnya serangan ransomware di seluruh dunia. Menurut Anne Neuberger, penasehat keamanan nasional AS dalam administrasi Presiden Joe Biden untuk urusan siber dan teknologi yang baru muncul, AS adalah negara yang paling terkena dampak, dengan 46% dari serangan semacam itu. 

"Dengan adanya aliran uang kepada para penjahat ransomware, masalah ini akan terus berkembang," ujar Neuberger kepada wartawan dalam sesi briefing virtual..

Dalam serangan ransomware, para peretas mengenkripsi sistem organisasi dan menuntut pembayaran tebusan sebagai imbalan untuk membukanya kembali. Seringkali mereka juga mencuri data sensitif dan menggunakannya untuk memeras korban serta membocorkan data tersebut secara online jika pembayaran tidak dilakukan.

Sementara ratusan perusahaan menjadi korban setiap tahunnya, serangan AS yang mencuat dalam dua bulan terakhir terjadi pada operator kasino MGM Resorts International  dan pembuat produk pembersih Clorox. Kedua perusahaan tersebut belum sepenuhnya pulih dari gangguan tersebut.

"Inisiatif baru oleh aliansi bertujuan untuk menghilangkan pendanaan para penjahat melalui penyediaan informasi yang lebih baik tentang akun pembayaran tebusan," kata Neuberger. Dua platform berbagi informasi akan dibuat, satu oleh Lithuania dan yang lainnya secara bersama-sama oleh Israel dan Uni Emirat Arab.

"Negara-negara mitra akan berbagi "daftar hitam" melalui Departemen Keuangan AS yang akan berisi informasi tentang dompet digital yang digunakan untuk memindahkan pembayaran ransomware," tambah Neuberger, dikutip VOI dari Reuters.

Dia menambahkan bahwa upaya ini akan menggunakan kecerdasan buatan untuk menganalisis blockchain dengan tujuan mengidentifikasi dana ilegal.

Volume pembayaran kripto kepada para penyerang ransomware berada di jalur untuk mencatat total tahunan terbesar kedua sepanjang sejarah, demikian dilaporkan oleh perusahaan analitik blockchain Chainalysis pada bulan Juli lalu.