JAKARTA - Serangan siber besar terhadap sistem pembayaran layanan keuangan bisa menyebabkan kerugian global sebesar 3,5 triliun dolar AS (Rp67 kwadraliun), di mana sebagian besar dari kerugian tersebut tidak tercover oleh asuransi. Hal itiu dikatakan oleh pasar asuransi komersial Lloyd's of London pada Rabu, 18 Oktober.
Amerika Serikat akan menderita kerugian sebesar 1,1 triliun dolar AS selama periode lima tahun dari serangan semacam itu, yang akan menyebabkan gangguan luas bagi bisnis global, menurut skenario risiko sistemik yang dikembangkan oleh Lloyd's dan Cambridge Centre for Risk Studies.
Menurut Lloyd's, China akan menghadapi kerugian sebesar 470 miliar dolar AS dan Jepang 200 miliar dolar AS selama periode yang sama.
"Keterhubungan global dalam dunia siber berarti risiko ini terlalu besar untuk satu sektor menghadapinya sendiri, oleh karena itu kita harus terus berbagi pengetahuan, keahlian, dan ide-ide inovatif di antara pemerintah, industri, dan pasar asuransi untuk memastikan bahwa kita membangun ketahanan masyarakat terhadap potensi besarnya risiko ini," kata Ketua Lloyd's, Bruce Carnegie-Brown, dikutip dari Reuters.
BACA JUGA:
Menurut Lloyd's, Asuransi siber menghasilkan lebih dari 9 miliar dolar AS dalam premi tertulis bruto pada tahun 2022 dan diproyeksikan akan tumbuh menjadi 13 miliar hingga 25 miliar dolar AS pada tahun 2025.
Kekhawatiran tentang biaya asuransi semacam itu dan apakah akan memberikan perlindungan dalam kasus perang sedang menghalangi beberapa calon pelanggan, kata para broker.
"Lebih dari 20% premi siber dunia ditempatkan di pasar Lloyd's," kata Lloyd's. Asuransi siber besar seperti Beazley dan Hiscox (HSX.L) adalah salah satu dari lebih dari 50 perusahaan asuransi di pasar Lloyd's.