Bagikan:

JAKARTA - Data terbaru Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti) menyebutkan jumlah transaksi kripto di Indonesia telah mencapai Rp75,81 triliun per Juli 2023. 

Dengan jumlah tersebut, Bappebti menilai Indonesia memiliki pondasi kokoh untuk mengembangkan ekosistem aset digital, dan membuka kesempatan Indonesia untuk menjadi pemimpin dalam pengembangan teknologi blockchain.

"Bappebti akan terus membuka diri terhadap perkembangan teknologi blockchain karena potensinya yang tidak hanya terbatas dari perdagangan aset kripto," kata Kepala Biro Pembinaan dan Pengembangan Pasar Bappebti, Tirta Karma Senjaya dalam acara Ajaib Cryptophoria di Bali. 

Di tengah jumlah investor kripto yang semakin banyak dan masif saat ini, tidak lupa, Tirta juga menekankan pengawasan ketat untuk aset kripto. 

"Kita tidak mau ada kejadian di level global seperti adanya exchanger tutup sehingga investor dirugikan. Untuk itu kita membangun ekosistem pengawasan yang lebih bagus, yaitu Bursa Kripto," tambahnya. 

Di waktu yang sama, Founder and CEO Ajaib Group, Anderson Sumarli, juga mendukung kolaborasi dengan pemerintah untuk mewujudkan potensi pengembangan blockchain di Indonesia. 

“Kombinasi antara pemerintah yang terbuka terhadap blockchain, terbukti dengan Indonesia menjadi negara pertama yang memiliki bursa kripto di dunia, dan rata-rata anak muda Indonesia yang paham terhadap aset kripto dan blockchain lebih banyak dibandingkan negara lain," uhar Anderson. 

Menurut Anderson, negara-negara lain saat ini sedang melihat Indonesia dan Indonesia bisa menjadi thought leadership dalam pengembangan blockchain.

Sebagai pengamat Aset Kripto dan Founder Belajarcrypto.id, Angga Andinanta menyambut baik optimisme regulator dan pelaku kripto di Indonesia. 

Angga mengatakan bahwa blockchain adalah teknologi baru, yang diharuskan adanya komunikasi antar kementerian. Tujuannya adalah, agar Indonesia bisa mengambil keuntungan dari teknologi blockchain ini. 

"Terlebih karena Indonesia sudah memiliki modal yang baik, dari regulasi, perpajakan yang bersahabat, dan populasi penduduk usia muda terbesar di dunia untuk mengembangkan blockchain,” kata Angga.