Bagikan:

JAKARTA - Setelah dua kali gagal pada upaya peluncuran di hari yang sama, Relativity Space memilih untuk kembali menunda peluncuran roket cetak 3D pertama di dunia, Terran 1.

Seharusnya, Terran 1 diluncurkan pada Rabu, 8 Maret  lalu, tetapi upaya itu juga dibatalkan karena suhu oksigen dalam pendaratan roket tahap kedua di luar batas normal.

Sabtu lalu, Relativity Space men-tweet mereka kembali menunda upaya peluncuran awalnya pada pukul 13:45 ET satu jam menjadi 14:45 ET karena pelanggaran angin tingkat atas.

Rencananya, roket ini akan diluncurkan di Stasiun Angkatan Luar Angkasa Cape Canaveral, Florida, Amerika Serikat (AS), tetapi saat 45 detik tersisa dalam hitungan mundur, pengontrol darat membatalkan upaya tersebut.

Satu jam sebelumnya, roket itu mengalami aborsi terpisah pada menit-menit terakhir setelah mesin pendorongnya menyala, seperti dikutip dari Engadget, Senin, 13 Maret.

Relativity Space belum mengatakan apakah aborsi hari Sabtu terkait dengan masalah yang sama Rabu kemarin. Perusahaan belum mengumumkan tanggal dan waktu peluncuran baru.

“Berdasarkan review data awal, kendaraan sehat. Info lebih lanjut untuk mengikuti penyebab aborsi hari ini. Terima kasih sudah bermain," tweet @relativityspace.

Uji terbang Terran 1 merupakan langkah besar bagi Relativity Space dan jika berhasil, akan menjadi tonggak penting bagi industri teknologi luar angkasa.

Perusahaan menyatakan, pencetakan 3D dapat membuat pembuatan roket dan pembuatan kapsul ruang angkasa serta komponen lain untuk misi ke Bulan dan Mars menjadi lebih murah.

Sebelumnya diwartakan, misi tersebut akan menguji teknologi pencetakan 3D milik Relativity Space, yang menggabungkan pencetakan logam 3D, Kecerdasan Buatan (AI), dan robot otonom untuk membuat roket dari bahan mentah dalam waktu 60 hari.

Tinggi roket itu sekitar 35 meter, yang menjadikannya roket orbit terkecil di industri, dan 85 persen massanya dicetak 3D.

Selain itu, Terran 1 dirancang untuk mengangkat hingga 1.250 kilogram beban ke orbit rendah Bumi, dan perusahaan menetapkan harga 12 juta dolar AS (Rp185 miliar) per penerbangan.