Bagikan:

JAKARTA - CTO Tether Paolo Ardoino telah menyanggah laporan investigasi dari Wall Street Journal (WSJ) yang menyoroti USDT dikendalikan oleh sejumlah orang saja. Pada Kamis 2 Februari, WSJ menerbitkan laporan investigasi yang mengungkapkan kepemilikan stablecoin USDT tersebut.

Ini adalah salah satu dari banyak laporan yang mengarah ke Tether selaku penerbit stablecoin USDT dengan kapitalisasi pasar sebesar lebih dari 68 miliar dolar AS (sekitar Rp1 quadraliun). Saat ini USDT adalah stablecoin terbesar di dunia, melampaui pesaingnya USDC dan BUSD.

Laporan tersebut merujuk pada penyelidikan yang dilakukan oleh Jaksa Agung New York dan Komisi Perdagangan Berjangka Komoditi Federal pada tahun 2021. Laporan dari WSJ mengungkapkan struktur kepemilikan Tether yang sebelumnya tidak diketahui.

Stablecoin USDT Tether adalah bagian penting dari infrastruktur dunia kripto dan merupakan stablecoin terbesar yang sering digunakan untuk menukar mata uang kripto lain.

Menurut laporan WSJ, Tether dimulai oleh perusahaan terpisah yang dipimpin oleh  Brock Pierce dan mantan ahli bedah plastik Giancarlo Devasini. Devasini juga membantu membangun pertukaran kripto Bitfinex dan saat ini menjadi kepala keuangannya. Devasini sendiri memiliki 43 persen saham Tether pada tahun 2018.

Dua eksekutif lain dari Bitfinex dan Tether, yaitu Kepala Penasihat Stuart Hoegner dan CEO Jean-Louis van Der Velde, masing-masing memegang 15 persen saham Tether. Adapun pemilik keempat adalah seorang pengusaha bernama Christopher Harborne dari Inggris yang memegang 13 persen saham Tether.

Stabilitas Tether kerap dipertanyakan dalam dunia kripto. Beberapa laporan sebelumnya mengklaim bahwa Tether tidak memiliki cadangan yang cukup untuk menopang likuiditas aset USDT yang beredar. Walaupun para pendiri Tether telah membantah tuduhan tersebut, mereka belum terbuka tentang operasi perusahaan mereka.

Meski ada beberapa tuduhan terhadap Tether, perusahaan tersebut berhasil bertahan pada masa-masa surut dalam dunia kripto. Menurut Wall Street Journal, "aset Tether sedikit lebih tinggi dari nilai Tether yang beredar." Kondisi ini dinilai sangat rentan terhadap kerugian.

Tahun lalu, stablecoin USDT milik Tether mengalami de-pegging atau nilainya terlepas dari patok dolar AS pada dua kesempatan, saat runtuhnya Terra pada Mei 2022 dan bursa FTX pada November 2022. Saat itu, terjadi penarikan besar-besaran dalam dunia kripto. Namun, USDT berhasil pulih dan kembali stabil.

Menanggapi artikel WSJ, CTO Tether, Paolo Ardoino mengatakan "Semakin banyak artikel yang mempermasalahkan Tether, semakin banyak Tether yang tumbuh. Orang-orang mengerti bahwa Tether berdiri untuk kebebasan dan inklusi, hal ini membuat marah kaum skeptis. Pada akhirnya, kebenaran akan mengalahkan opini negatif,” katanya dikutip CoinSpeaker.