JAKARTA - Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) angkat bicara terkait batu meteor viral yang terjual dengan harga fantastis. Di mana bongkahan mateor tersebut sempat dimiliki seorang warga bernama Josua Hutagalung.
Menurut Peneliti Pusat Sains Antariksa LAPAN, Rhorom Priyatikanto, jika transaksi batu meteor tersebut berkaitan dengan kolektor tentu harga yang bisa ditawarkan dari benda antariksa itu akan mahal. Terlebih jika memang bongkahan meteor yang viral tersebut terindikasi material langka dalam dunia sains.
"Saya dengar itu ada peran kolektor ya di sana. Nah kalau sudah kolektorkan ya macam-macam faktor. Kalau dilihat sekilas dari berita yang saya baca, itu meteor tipe Carbonaceous Chondrite. Artinya banyak sekali mineral batuan di sana, mineral logamnya sedikit lebih rendah, nah kalau dilihat kandungan logam mulianya itu hampir nihil," ungkap Rhorom saat dihubungi VOI, Kamis 19 November.
BACA JUGA:
Diketahui, batu luar angkasa alias meteor seberat 2,2 kg yang menimpa rumah Josua di Kolang, Tapanuli Tengah, Sumatera Utara itu telah dijualnya kepada seorang ahli meteorit bernama Jared Colins. Di mana ia menjual kepingan meteor seberat 1,800 gram itu seharga Rp200 juta.
Namun siapa sangka, media asing seperti The Sun menyebutkan bahwa batu meteor itu bisa dihargai 757 Poundsterling atau setara Rp14,1 juta (dengan kurs Rp14.000) per gram di situs jual-beli eBay. Artinya, batu milik Joshua tersebut setara dengan Rp26 miliar.
Dijelaskan Rhorom, nilai benda antariksa itu memang akan menjadi mahal jika memang dibeli atau diteliti para ahli dan kolektor yang memahami. Namun lain cerita jika batu tersebut tak diteliti lebih lanjut.
"Kalau kita cuma menemukan itu di jalan dan dijual itu tidak akan laku besar. Kecuali kalau kita benar-benar bertemu dengan kolektor yang mungkin melihat dari sisi lain," imbuhnya.
Dalam catatan LAPAN, Carbonaceous Chondrite atau CM1/2 merupakan varietas meteorit yang cukup langka dan primitif. Menurut ilmuwan, meteor tersebut diyakini mengandung asam amino unik dan elemen kuno lainnya yang mungkin bisa menjawab asal muasal kehidupan, sekitar 4,5 miliar tahun lalu.
"Jadi nilai ilmiahnya lebih tinggi dibanding nilai materialnya. Tapi kembali yang bisa melihat itu ya pakar-pakar yang sudah bergelut sekian puluh tahun dengan meteor," tutur Rhorom.