Bagikan:

JAKARTA - RCTI dan iNews menggugat Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran (UU Penyiaran) ke Mahkamah Konstitusi (MK). Kedua stasiun televisi itu meminta layanan berbasis internet atau video over the top (OTT) juga dimasukkan dalam klasifikasi UU Penyiaran. 

Dikutip dari situs mkri.id, kedua stasiun televisi swasta itu meminta agar setiap penyelenggara penyiaran berbasis internet seperti Youtube, Instagram, Facebook hingga Netflix harus tunduk dalam UU Penyiaran. Di mana mereka mengajukan judicial review atas Pasal 1 ayat 2 UU Penyiaran.

"Penyiaran adalah kegiatan pemancarluasan siaran melalui sarana pemancaran dan/atau sarana transmisi di darat, di laut atau di antariksa dengan menggunakan spektrum frekuensi radio melalui udara, kabel, dan/atau media lainnya untuk dapat diterima secara serentak dan bersamaan oleh masyarakat dengan perangkat penerima siaran," bunyi Pasal 1 ayat 2 UU Penyiaran, seperti dikutip dari situs MK, Kamis, 27 Agustus. 

Menurut RCTI dan iNews, pasal tersebut tak mengakomodir aturan tentang penyiaran berbasis internet. Di mana sedikitnya, ada enam ketentuan dalam UU Penyiaran yang wajib dipatuhi baik tujuan, fungsi, arah penyiaran, perizinan, pedoman perilaku siaran dan pengawasan.

"Sementara penyelenggara siaran yang menggunakan internet tidak perlu memenuhi berbagai macam persyaratan dimaksud," demikian bunyi alasan judicial review RCTI-iNews TV dalam berkas permohonannya

Atas dasar itu, pihak pemohon meminta MK untuk merumuskan kembali Pasal 1 ayat 2 UU Penyiaran tersebut. "Pembedaan-pembedaan sebagaimana dijelaskan di atas juga sangat jelas telah melanggar prinsip 'non-diksriminasi'," lanjut pemohon.

Respon Kominfo

Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) mewakili Presiden dalam sidang uji materi UU Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran menyatakan layanan video over the top (OTT) apabila dimasukkan dalam klasifikasi penyiaran justru akan menimbulkan masalah.

"Untuk mengklasifikasi layanan OTT sebagaimana bagian dari penyiaran akan menimbulkan permasalahan hukum, mengingat penyiaran telah diatur dengan sangat ketat dan rigid dalam satu regulasi," ujar Direktur Jenderal Penyelenggaraan Pos dan Informatika (PPI) Kominfo Ahmad M Ramli seperti dikutip dari Antara.

Ia menuturkan layanan OTT beragam dan luas sehingga pengaturannya kompleks dan saat ini tidak hanya dalam satu aturan. Peraturan perundang-undangan yang ada sesuai dengan jenis layanan OTT yang disediakan, di antaranya Undang-Undang Telekomunikasi, Undang-Undang ITE, Undang-Undang Pers, Undang-Undang Pornografi, Undang-Undang Perdagangan, Undang-Undang Hak Cipta hingga Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

Ramli menegaskan layanan OTT di Indonesia terus berkembang, apabila diatur terlalu ketat justru akan menghambat pertumbuhan ekonomi kreatif dan digital nasional.

"Mengatur layanan OTT secara ketat juga akan menghadapi tantangan hukum dalam penegakkan-nya karena mayoritas penyedia layanan OTT saat ini berasal dari yurisdiksi di luar Indonesia," tutur Ramli.

Ia menyebut hingga saat ini tidak terdapat negara yang mengatur layanan audio visual OTT melalui internet dimasukkan menjadi bagian penyiaran. Pengaturan layanan audio visual OTT diatur dalam peraturan yang terpisah dengan penyiaran yang linear.

Direktur Jenderal Penyelenggaraan Pos dan Informatika (PPI) Kominfo Ahmad M Ramli (dok. Antara)

Masyarakat Terancam Tak Lagi Bebas Gunakan Medsos

Ramli juga mengkhawatirkan perluasan dari pemanfaatan UU Penyiaran jika dikabulkan oleh MK. Pasalnya masyarakat tidak lagi bebas memanfaatkan fitur siaran dalam platform media sosial karena terbatasi hanya lembaga penyiaran yang berizin.

"Perluasan definisi penyiaran akan mengklasifikasikan kegiatan seperti Instagram TV, Instagram Live, Facebook Live, Youtube Live, dan penyaluran konten audio visual lainnya dalam platform media sosial diharuskan menjadi lembaga penyiaran yang wajib berizin. Artinya, kami harus menutup mereka kalau mereka tidak mengajukan izin," ungkap Ramli.

Apabila kegiatan dalam media sosial itu juga dikategorikan sebagai penyiaran, maka perorangan, badan usaha, ataupun badan hukum dikatakannya akan dipaksa memiliki izin menjadi lembaga penyiaran. Selanjutnya perorangan atau badan usaha yang tidak dapat memenuhi persyaratan perizinan penyiaran itu menjadi pelaku penyiaran ilegal dan harus ditertibkan oleh aparat penegak hukum karena penyiaran tanpa izin merupakan pelanggaran pidana.

Belum lagi pembuat konten siaran melintasi batas negara sehingga tidak mungkin terjangkau dengan hukum Indonesia. Ramli mengakui kemajuan teknologi yang pesat memungkinkan terjadinya konvergensi antara telekomunikasi dan media penyiaran.

Tetapi usulan agar layanan berbasis internet ikut masuk dalam UU Penyiaran disebutnya akan mengubah tatanan industri penyiaran dan mengubah secara keseluruhan. Solusi yang diperlukan, menurut dia, adalah pembuatan undang-undang baru oleh DPR dan pemerintah yang mengatur sendiri layanan siaran melalui internet.