JAKARTA - Jagat media baru-baru ini dihebohkan oleh aksi Anggota DPR RI Andre Rosiade yang ikut terlibat saat penggerebekan prihal prostitusi online di kota Padang. Semakin heboh lagi, karena langkahnya sebagai polisi moral yang malah menyeret namanya sebagai si penjebak pekerja seks komersil (PSK) tersebut.
Meski mendapatkan kecaman dari berbagai pihak. Ia berseloroh melalui cuitan di twitternya, jika apa yang dilakukannya ini semata-mata ingin melindungi masyarakat Padang dari Azab Allah SWT.
"Untuk itu saya bekerjasama dengan Polisi untuk memberantas Prostitusi Online. Saya tidak mau menjadi Selemah-lemahnya Umat," tulis Andre, seperti dikutip VOI, Kamis, 6 Februari.
Baik dari cuitan atau langkah yang diambil politisi dari Gerindra tersebut, kiranya mirip-mirip seperti yang selalu digulirkan oleh Pendiri Batavia zaman dulu Jan Pieterszoon Coen. Sekiranya, pada awal-awal dirinya menjabat sebagai Gubernur Jenderal, Coen ingin mengubah terlebih dahulu kehidupan di kantor-kantor kongsi dagang Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) di Hindia-Belanda yang penuh skandal sehingga kehidupan mereka yang bekerja menjadi beradab.
Demi Allah sy sbg yg lahir dan besar di Padang tidak ingin kota sy ini kena Azab Allah krn maksiat merajalela. Dan masyarakat juga byk melaporkan ke sy. Untuk itu sy bekerjasama dgn Polisi utk memberantas Prostitusi Online. Sy tidak mau menjadi Selemah2 nya Umat🙏
— Andre Rosiade (@andre_rosiade) February 4, 2020
Dikutip dari Jean Gelman Taylor dalam bukunya berjudul Kehidupan Sosial di Batavia, ia mengatakan Coen pernah berucap “Terlalu banyak kasus aborsi yang menyedihkan yang kita ketahui, dan juga kasus di mana seorang gundik mencoba membunuh (tuannya) dengan phenyl atau racun-racun semacam itu.”
Kiranya, itulah alasan Coen saat itu melarang keras untuk memiliki satu atau lebih budak perempuan, seorang gundik atau lebih, di dalam rumah sendiri atau tempat lain dengan alasan apapun. Di samping itu, Coen seorang yang taat ajaran Calvinis jelas menginginkan warga Eropa di Batavia agar ‘menikah dan baik-baik’ di dalam masyarakat.
Tak Pandang Bulu
Bukan cuma karena suratnya kepada Heren XVII, Dewan Direksi VOC di Belanda, yang meminta didatangkan perempuan baik-baik dari Belanda. Track Record Coen sebagai polisi moral benar-benar diuji pada tahun 1627. Kala itu, sahabatnya yang juga anggota Dewan Hindia, Jacques Specx menitipkan anaknya, Sara Specx kepada Coen. Dan di situlah masalah besar yang menguji seorang yang menakluk Jayakarta pada Mei 30 Mei 1618.
Jacques berucap: “Sementara aku kembali ke Patria (Belanda) memenuhi permintaan Heren XVII, aku titipkan sara, putriku, padamu. Aku percaya kau dapat mengasuhnya.”
Meski sudah menyetujui permintaan sahabatnya, Sara Specx yang lahir dari perempuan Jepang yang dijadikan gundik itu lahir di Negara ibunya pada tahun 1617, ia kemudian dijadikan staatdochter (putri Negara) oleh Coen, dan dipekerjakan sebagai salah satu pengiring Evan Ment, Istri Coen.
Sayangnya, pada Juni 1629, saat usianya baru menginjak 12 tahun, usia yang pada abad ke-17 dianggap usia matang bagi seorang wanita. Sehingga Sara kemudian terpesona dengan ketampanan seorang Vaandrig (serdadu bawahan) berdarah campuran yang biasa menjaga kastil Batavia.
BACA JUGA:
Bersama pemuda yang lahir di Arakan, Myanmar dan putra seorang pedagang Belanda dengan perempuan pribumi itulah, Sara Specx melakukan hubungan terlarang di kastil Batavia yang mengundang kemarahan Coen.
Oleh Achmad Sunjayadi dalam bukunya berjudul (Bukan) Tabu di Nusantara, menjelaskan hal itu secara rinci. “Suatu malam, pasangan muda yang sedang dimabuk asmara itu tidak menyadari akibat dari perbuatan mereka. Gadis malang yang mungkin baru saja mendapat menstruasinya itu in flagrante delicto (tertangkap basah) bermesraan dengan kekasihnya di rumah Coen. Dan kasus pelanggaran seksual di Kastil Batavia tersebut menjadi skandal hangat pada masa itu.”
Mau tak mau, se-isi Kastil temasuk Coen tertampar dan tercemar nama baiknya. Sekalipun dia sudah diamanatkan untuk menjaga Sara oleh sahabatnya, namun karena kelakukan Sara sudah kelewat batas. Coen langsung bersikap tegas dan keras terhadap pelanggaran itu.
“Hukum mereka seberat-beratnya! Gantung mereka!,” Teriak Coen.
Akibatnya, karena sudah kandung malu karena skandal itu hadir di rumahnya sendiri, maka hukuman berat sudah musti diberikan olehnya. Bahkan, Coen sampai-sampai tak menggubris saran dari dewan gereja maupun istrinya Eva untuk membatalkan hukuman itu.
Padahal istrinya sendiri sudah mengingatkannya “Ampuni Sara. Dia anak teman baikmu yang dititipkan kepada kota,” bujuk Evan.
Sayangnya, keputusan sudah dibuat. Tepat pada tanggal 6 Juni 1629 hukuman pun dijatuhkan, hingga keduanya siap dieksekusi di depan halaman balai kota (stadhuis) Belanda di Kawasan Kota Tua, yang kini dikenal dengan nama Taman Fatahillah.
Si pemuda dipancung, sedangkan si gadis “dihukum” dengan cukup menyaksikan hukuman kekasihnya. Meski begitu, Sara tetap ditelanjangi, disiksa dengan cambuk, serta di jadikan tontonan oleh khalayak yang hadir saat eksekusi.
Setelahnya, keputusan hukuman dari Coen itu tak hanya membuat heboh seluruh Hindia-Belanda. Menariknya, seisi negeri Belanda juga ikut-ikutan heboh. Terkait suasana tegang dari eksekusi mati di Taman Fatahillah, meski bukan pada momentum hukuman mati pezina di Kastil Batavia, gambarannya bisa didapat dari tulisan Van Marrik yang terdapat dalam buku yang ditulis oleh H.C.C Clockener Brousson, Batavia Awal Abad 20.
Ia mengungkap: “Lapangan penuh orang, kebanyakkan perempuan. Segala bangsa ikut menonton. Yang datang terlambat tak segan memanjat ke atas kereta. Penjajah makanan dan buah-buahan memanfaatkan kerumunan manusia itu untuk menjajahkan dagangannya. Sementara itu sang terpidana berjalan dengan tenang sambil menghisap cerutu menuju tiang gantungan dikawal para penjaga.”
Ada yang mengatakan langkah Coen senjata makan tuan. Ada pula yang menganggap langkah Coen hanya cari sensasi. Serta ada pula yang mengganggap langkah Coen sudah tepat. Baginya, Hukum harus ditegakkan, dan Coen sudah tentu tak mau menjilat ludahnya sendiri.